Oleh: Ima Santika Jayati, M.Psi, Psi. (psikolog klinis, memiliki perhatian pada topik spiritualisme dan pengembangan diri)
Love does not claim possession, but gives freedom.
- Rabindranath
Tagore -
![]() |
(sumber: www.picturescollections.com)
|
MENCINTAI adalah MEMPERTAHANKAN,
benarkah demikian? Sekilas tampak seperti bahasa sinetron ya jika kita merasa
bahagia dengan melepaskan apa yang kita cintai.
Apa saja sih hal yang kita cintai
di dunia ini? Mencintai kesuksesan, mencintai kepopuleran, mencintai
kecantikan, mencintai kekayaan…. Wah, banyak sekali hal yang kita cintai jika kita
mau hitung satu per satu ya. Seringkali hal yang kita cintai itu membuat kita
sangat sayang untuk melepasnya. Seorang ibu yang baru memiliki anak tentu
memiliki kebanggaan dengan segala tingkah laku anaknya. Setiap tawa, celotehan,
atau tangisan nakal seolah ingin selalu dibingkai dalam media sosial. Tidakkah
ibu itu merasa bosan? Tentu tidak, karena bagi dia anak itu adalah hartanya,
dunianya, sesuatu yang membuat dirinya merasa berharga.
Seorang wanita yang baru saja
melangsungkan pernikahan tampak bahagia dengan kisah barunya. Setiap sesi
kehidupan dia ungkapkan dengan wajah berbinar-binar. Aktivitas sederhana
seperti memasak, makan bersama suami, jalan-jalan, kini menjadi hal romantis
yang ingin dia bagi dengan siapapun. Foto-foto pernikahan, peringatan saat
pertama mereka bertemu, menjalin hubungan, hingga membina rumah tangga selalu
menarik untuk dipublikasikan.
Itu adalah dua contoh peristiwa
yang dapat membuat seseorang mencintai apa yang mereka miliki. Lalu bagaimana
jika si anak sakit? Sang suami pergi jauh? Sangat mungkin kehidupan mereka
menjadi sangat terganggu. Sang ibu menjadi sangat takut tidak akan dapat lagi
menikmati keceriaan anaknya. Sang wanita menjadi kesepian dan sangat khawatir
dengan keselamatan suaminya.
Saat sesuatu yang berharga tidak lagi
menjadi milik kita sepenuhnya, ada bagian yang hilang dalam diri kita. Jikalau
mungkin, ingin rasanya selalu menggenggam kebahagiaan, tidak pernah
berinteraksi sama sekali dengan kesedihan dan kehilangan. Namun apakah itu akan
selalu membuat hidup kita baik-baik saja? Ketika kebahagiaan yang kita
rencanakan tidak berjalan sebagaimana yang kita inginkan, kita pun
"terpaksa" untuk menghentikan senyum sejenak. Jiwa dan hati kita
menjadi sangat rentan untuk membenci apa yang tampak. "Mengapa hanya aku
yang seperti ini? Mengapa orang lain tidak? Mengapa Tuhan tidak sayang
padaku." Sangat mudah bagi hati kita untuk berteriak dan membandingkan
nasib dengan orang lain.
Apakah Tuhan sedang pilih kasih
ya? Mungkin… mungkin Tuhan memang sedang ingin pilih kasih. Lalu apa yang salah
jika Tuhan pilih kasih? Jika kita adalah satu dari ribuan orang yang terpilih,
bukankah itu membanggakan? Ya, Tuhan sedang memilih kasih yang
"istimewa" untuk orang-orang yang "istimewa" pula. Bagi
orang-orang yang istimewa, rasa sakit adalah "hadiah", air mata
adalah "perhiasan". Oleh sebab itu dalam kasih yang istimewa hadir
penghargaan yang istimewa pula.
Suatu ketika rasa sakit itu akan
hilang. Sang anak akan sembuh dari sakitnya dan bisa mengembalikan senyum
ibunya. Sang suami akan kembali pulang dan menemani istrinya. Kebahagiaan akan
melingkupi setiap orang yang pernah tersakiti, tentu saja. Namun, bagaimana
kita harus menyikapi kebahagiaan yang kita peroleh selanjutnya? Apakah kita
akan menjadi sangat protektif? Sang ibu mungkin tidak akan membiarkan anaknya
untuk sembarangan bermain-main agar tidak sakit lagi. Sang istri mungkin akan
berusaha menjaga suaminya agar selalu berada di dekatnya. Begitulah… Ketika kita
sudah mendapatkan kembali kebahagiaan yang dinanti-nanti, menjaganya agar tidak
pergi seolah-olah adalah kewajiban kita.
Dan tidak berapa lama, peristiwa
lain bisa saja terjadi. Sang anak akan mencoba untuk bermain-main lagi hingga
tanpa sadar dia pun kelelahan dan sakit lagi. Sang suami akan mengejar kembali
karirnya ke wilayah yang jauh sehingga harus meninggalkan istrinya lagi. Lalu
orang-orang yang pernah tersenyum itu kembali harus berteman dengan kesedihan.
Seandainya bisa… seandainya ada
sebuah pintu untuk menghalangi kesedihan agar tidak masuk, sudah sedari dulu
pintu itu tetap dikunci. Sayangnya, kesedihan seolah ditakdirkan untuk berganti
peran dengan kebahagiaan. Sesekali kesedihan datang untuk menjaga agar
kebahagiaan tidak meluap-luap.
Sesaat mari kita coba untuk
menarik nafas dengan dalam dan perlahan. Ternyata kita tidak bisa ya sepenuhnya
mempertahankan apa yang kita cintai… Ada kalanya sesuatu/seseorang yang kita
cintai harus berada dalam wilayah yang tidak dapat kita jangkau. Tidak selamanya
kita bisa berkata bahwa : "Saya akan mengorbankan apapun untuk membuat
orang yang saya cintai bahagia. Saya tahu bahwa saya adalah sumber kebahagiaan
baginya."
Terkadang kita terlalu percaya
diri dengan peran "terbaik" yang bisa kita lakukan. Kita sangat yakin
bahwa kita adalah malaikat bagi orang lain. Asal ada kita yang menjaganya,
pasti dia akan baik-baik saja. Dan ketika kita menjumpai hal-hal yang tidak
sesuai dengan harapan, kita pun cenderung langsung menyalahkan dua pihak, kita
atau dia. Kita yang salah karena kurang berhati-hati menjaganya, lengah dalam
bertindak. Dia yang salah karena tidak patuh dengan penjagaan kita, berjalan
menurut kehendaknya sendiri.
Mengapa kita tidak mencoba untuk
melihat ke atas dan bertanya, "Penjagaan manakah yang Tuhan sukai? Apakah
Tuhan sedang menunjukkan penjagaan yang terbaik?"
Mengapa kita cenderung suka
menyalahkan? Mengapa tidak kita nikmati saja peristiwa yang terjadi dan
menunggu episode selanjutnya?
Saat semua beban seolah ditujukan
pada kita, maka kita sebenarnya telah memberi ruang pada diri kita sendiri
untuk merasa berat. Padahal kalau mau kita rasakan lebih dalam, sesungguhnya
kita tidak memiliki apapun atas apa yang kita cintai. Jika pada detik ini kita
sedang bersama dengan orang yang kita cintai, apakah 30 detik selanjutnya dia
pasti masih akan bersama kita? Kita tidak bisa mengontrol aktivitas seseorang
sepenuhnya. Bukan hanya orang lain, bahkan diri sendiri pun susah. 5 detik
kemudian, 10 detik kemudian, dan seterusnya sangat mungkin kita melakukan
aktivitas yang berbeda dari yang telah kita rencanakan.
Apakah itu berarti bahwa kita
gagal merencanakan? Apakah itu pertanda bahwa kita tidak memiliki kekuatan yang
cukup untuk mengontrol keadaan?
Sebagai manusia, saya yakin bahwa
setiap manusia itu terlahir kuat. Sejak kecil kita telah belajar untuk bisa
berdiri lagi setelah jatuh, tertawa kembali setelah menangis, berlari lagi
setelah lelah. Tidak terhitung berapa jumlah masalah yang pernah kita temui
setiap harinya, kita selalu punya cara untuk menyelesaikannya.
Mungkin kita pernah merasa takut
dan khawatir tidak bisa menjadi diri kita seperti yang kita inginkan. Kita
ingin menciptakan sosok diri kita yang tangguh, berani, dan kuat. Kita pun
merasa kecewa saat menjadi cengeng dan rapuh. Padahal sesungguhnya cengeng dan
rapuh memberi kita kesempatan untuk menjadi lebih kuat.
Ya, sesaat mempersilakan diri
untuk menangis bukanlah hal yang memalukan. Menangis dan menyadari bahwa kita
ini lemah dan bukan pengendali hidup yang sempurna akan membuat kita merasa
bebas.
Pernahkah kita perhatikan, bahwa
air mata adalah ekspresi manusia yang paling tulus? Setiap bulirnya mengandung
kedamaian. Saat dada kita terasa sesak, air mata menjadi semacam muara
pembebas. Saat hati kita bahagia pun air mata menjadi teman yang mengiringi
dengan hangat.
Saat kita menangis sesungguhnya
Tuhan dan malaikat sedang memeluk kita, menghitung setiap tetesnya, membelai
kepala kita dengan cinta. Maka biarkan
air mata bersahabat dengan kita, menjadi sebuah unsur yang terintegrasi dalam
emosi kita.
Seiring dengan tetesan air mata
yang mengalir, seiring itu pula kebebasan dalam diri kita mulai menapaki jalan.
Tanpa kita sadari, air mata kemudian menyatu dengan energi yang terhampar luas
di semesta. Kita pun menjadi semakin kuat, menjadi semakin dewasa, karena hati
telah terbasuh oleh indahnya tangis.
Saat hal yang kita cintai pergi
menjauh, hati kita tidak akan ikut menjauh. Hati kita akan tetap hidup dalam
kerelaan. Hati akan mengakui sebuah pembelajaran penting dalam hidup : bahwa
dengan melepaskan kita akan memperoleh lebih banyak cinta. Jika sebelumnya kita
hanya mengenal satu macam cinta, yakni cinta pada seseorang/sesuatu yang
berarti bagi kita, maka melepaskan akan membawa kita pada cinta yang lebih
luas, yakni cinta pada mereka yang diizinkan Tuhan untuk menemani langkah kita.
Kesendirian menemani kita dalam
menemukan arti kedamaian. Kekecewaan menemani kita dalam menemukan arti
kerapuhan hati. Kerinduan menemani kita dalam menemukan arti keinginan untuk
terikat. Semua itu adalah hal-hal yang bisa kita jumpai dalam interaksi dengan
makhluk Tuhan secara luas.
Ya, semesta pada hakikatnya tidak
pernah meninggalkan kita. Setiap manusia beserta semua makhluk dan energi yang
tercipta selalu berada dalam lingkaran cinta milikNya. Ke mana pun kita
melangkah, di situ lah ada cinta yang melingkupi kita. Semakin kita mampu
melepaskan diri, maka semakin kita menyadari keberadaan cinta.