Tentang Kami

23 Juni 2014

Memimpin Diri Sendiri untuk Memimpin Dunia



Oleh: Novi Rahmawati, M.Psi., Psi.
(Psikolog Klinis, memiliki perhatian pada topik program Psikologi berbasis internet)

(sumber: http://toinitiative.ca)



Melihat judul We Are The Future Leaders pertama kali yang terbesit dalam benak saya adalah para pemuda-pemudi yang turut meramaikan kancah dunia politik sekarang ini. Tapi tentu saja kita tidak akan terlalu membahas dunia politik, karena nanti tulisan ini tidak ada bedanya dengan berita di televisi ataupun koran.

Tidak usah terlalu jauh membayangkan bahwa menjadi seorang pemimpin berarti harus bergelut di dunia politik, karena arti dari pemimpin sebenarnya adalah dia yang mampu memimpin dan mengendalikan. Hal sederhana namun sering orang lupakan adalah bagaimana memimpin untuk diri sendiri. Ungkapan yang tepat untuk kalimat ini saya kutip dari ungkapan Mahatma Gandhi, “You must be the change you wish to see in the world”. Menurut saya, kita tidak akan pernah bisa melihat dan melakukan perubahan jika perubahan itu tidak kita mulai dari diri kita sendiri. Contoh kecil saja, jangan pernah mengharapkan lingkungan yang bersih jika kita sendiri masih suka membuang sampah atau meludah sembarangan. Jangan pernah mengharapkan situasi berkendara yang aman dan tertib jika kita sendiri masih suka menerobos lampu merah atau garis marka di jalan. Jangan pernah mengharapkan sistem kepemerintahan yang bersih dan jujur jika kita masih melakukan plagiarisme atau bahkan sekedar berbohong kepada orangtua terkait uang kembalian ketika kita diminta berbelanja di warung. 

Contoh-contoh di atas mungkin terlihat sepele, tapi bayangkan jika bukan hanya Anda atau kita yang melakukannya. Berapa banyak jumlah penduduk di Indonesia? Atau di kota Anda sendiri? Atau di kecamatan Anda? Atau di lingkungan tempat tinggal Anda? Coba saja hitung jumlah penduduk mulai dari lingkup mikro di kehidupan Anda hingga lingkup makro dan kalikan dengan berapa banyak orang yang melakukannya? Mungkin dalam hitungan sehari, satu minggu, satu bulan, satu tahun? Tentunya hal ini akan menjadi sebuah perilaku yang terbentuk karena proses alam bawah sadar kita membentuk pathway dalam otak kita dan termaninfestasi ke dalam perilaku. Lalu bagaimana jika kita membalik contoh perilaku di atas dengan perubahan yang lebih positif dan kita hitung menggunakan cara yang sama? Tentunya hal ini akan membentuk suatu perubahan perilaku positif yang terbentuk melalui modifikasi perilaku yang Anda lakukan, karena secara psikologis modifikasi perilaku terbentuk melalui pengkondisian perilaku manusia sehingga menghasilkan perubahan frekuensi perilaku tertentu. Modifikasi perilaku ini juga akan semakin berhasil dilakukan jika sistem reward dan punishment untuk perubahan perilaku tersebut diterapkan dengan baik sehingga para individu yang melakukan modifikasi perilaku mendapatkan penguatan secara positif.
 
Siapa lagi yang bisa melakukannya jika bukan diri kita sendiri? Berubahlah melalui dirimu untuk duniamu, because we are the future leaders.



22 Juni 2014

Compassionate Parenting: Refleksi tentang Hubungan Orang Tua dan Anak

(oleh: Novita, M.Psi., Psi.)


(sumber: celebbabylaundry.com)



Setiap keluarga memiliki pilihan cara pengasuhan (parenting) yang ingin diterapkan pada putra-putrinya. Orang tua dapat memilih cara parenting sesuai dengan nilai dan visi yang dianut masing-masing keluarga. Secara garis besar terdapat beberapa jenis pola pengasuhan yaitu authoritarian parenting, authoritative parenting, permissive parenting, dan uninvolved parenting1

Seiring dengan perkembangan ilmu, literatur, dan pengalaman orang tua, berkembang juga konsep dan gaya parenting yang lebih baru. Konsep-konsep parenting tersebut lahir antara lain berdasarkan falsafah yang dianut dan visi tentang karakter anak yang ingin dibentuk. Beberapa contoh yang populer saat ini adalah konsep parenting yang digagas oleh Amy Chua atau lebih dikenal dengan tiger mother2 dan compassionate parenting.

Berbeda dari konsep tiger mother yang merupakan perpaduan dari falsafah western parenting dan chinese parenting, dasar dari compassionate parenting adalah kesadaran diri (mindfulness, kepedulian diri) dan kasih sayang yang dimiliki orang tua. 

Catatan penting yang dapat kita ambil pelajaran dari compassionate parenting adalah penekanan hubungan antara orang tua dan anak, yaitu hubungan empatetik yang penuh kasih sayang. Hubungan yang diikat oleh orang tua sejak awal kehidupan anak, sangat berpengaruh pada emotional intelligence dan karakter pada saat anak menjadi dewasa. Anak yang merasa disayangi oleh orang tua merasakan perasaan aman. Rasa aman tersebut sangat penting dalam menumbuhkan emosi yang sehat dan kepercayaan diri untuk mengeksplorasi dunianya. Anak diharapkan menjadi individu yang mampu berpikir secara mandiri, memahami emosinya, dan menentukan pilihan secara sehat3

Hubungan empatetik yang penuh kasih sayang dapat tercipta jika orang tua memahami kebutuhan dan emosi anak sehingga dapat meresponnya secara tepat. Untuk dapat memahami anak, fisik dan pikiran orang tua harus hadir sepenuhnya saat bersama dengan anak. Hadir secara penuh  merupakan sebuah tantangan bagi keluarga modern yang hidup di era digital saat ini. 

Berbagai jenis gadget dan akses internet yang kian mudah didapatkan membuat orang tua juga semakin multitasking selama 24 jam sehari. Urusan pekerjaan dan sosialisasi tidak hanya terbatas ketika orang tua berada di tempat kerja atau di luar rumah. Orang tua tetap dapat memikirkan pekerjaan, mengontrol pekerjaan, atau keep in touch dengan rekan melalui internet dan sosial media meski berada di rumah. Godaan yang sangat besar bagi orang tua untuk terus memanfaatkan kemudahan tersebut. Tanpa sadar, fasilitas yang mendekatkan kita dengan orang-orang yang di luar rumah justru menghalangi orang tua untuk menghadirkan fisik, emosi, dan pikiran saat bersama dengan anak. Orang tua tampak hadir secara fisik saat bersama anak, akan tetapi terjadi keabsenan pikiran dan emosi.

Kutipan dari pernyataan Coleman4 berikut ini menegaskan pentingnya kehadiran orang tua saat bersama dengan anak:

“Anak belajar mengenai diri mereka sendiri dari cara kita berkomunikasi dengan mereka. Komunikasi dengan anak 0-5 tahun didominasi dengan cara non-verbal, jadi anak perlu melihat mata dan wajah kita. Mata dan wajah kita merupakan cermin betapa berharganya mereka untuk mendapatkan perhatian, cinta, dan kebahagiaan. Kehadiran kita membuat anak merasakan bahwa mereka dilindungi dan dimengerti, yang membangun kepercayaan diri dan kepercayaan pada lingkungannya....” 

Coba kita bayangkan, jika pola komunikasi dengan anak berkebalikan dengan yang digambarkan oleh Coleman tersebut. Sibuk dengan gadget membuat mata dan wajah orang tua teralihkan dari mata dan wajah anak. Mata orang tua justru terpaku menatap layar laptop, notebook, ipad, tab, handphone, atau smartphone. Dengan kondisi tersebut, anak belajar bahwa mereka kurang berharga dibandingkan gadget bagi orang tuanya. Saat anak melihat sekeliling atau mencari dukungan orang tua, yang ia ditemukan adalah orang tua sedang memperhatikan gadget. Anak tidak dapat menemukan perhatian dan cinta pada mata dan wajah orang tuanya. Anak merasa bahwa ia tidak layak mendapatkan perhatian dan cinta orang tua.

Demikian pula saat orang tua sedang sibuk melakukan suatu aktivitas fisik atau memikirkan suatu permasalahan. Aktivitas fisik dan pikiran tersebut terkadang membuat orang tua hanyut dalam kesibukan tersebut. Akibatnya, pada saat anak memanggil ingin mengajak bicara atau menunjukkan sesuatu, pikiran orang tua tidak terfokus pada anak. Padahal mimik muka dan bahasa tubuh anak dapat lebih banyak cerita.

 Saat kita hadir sepenuhnya, 100% dari diri kita, maka kita bisa menjalin hubungan empatetik dengan anak. Lewat mata dan wajah, kita bisa “terhubung” dengan anak. Lewat mata dan wajah, kita bisa mengekspresikan cinta dan penghargaan pada anak. Lewat mata dan wajah yang memandang anak, kita bisa belajar memahami emosi dan kebutuhannya. 

Setelah kita mampu menghadirkan diri sepenuhnya untuk anak, kita baru dapat mengaplikasikan secara efektif keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dalam membangun hubungan empatetik dengan anak. Keterampilan-keterampilan tersebut antara lain5:
  • Mendengarkan. Kurangi porsi orang tua berbicara, tambah porsi mendengarkan anak. 
  • Bantu anak menemukan solusinya sendiri. Kurangi porsi dalam menjawab, bantu anak lewat pertanyaan yang membuat anak berpikir. 
  •  Merespon emosi negatif anak. 
  •  Merespon emosi positif anak. Bantu anak mengeskpresikan emosi mereka. Bantu anak belajar menamai, menyatakan, dan mengetahui penyebab emosi yang dirasakan.
  • Ekspresikan kasih sayang pada anak dan anggota keluarga lain. 
  • Bermain bersama anak.

Setiap orang tua memiliki hak dan penilaian masing-masing untuk memilih cara parenting yang paling sesuai dengan anak dan keluarga mereka. Pelajaran yang dapat kita ambil dari prinsip compassionate parenting yaitu pentingnya kehadiran sepenuhnya dari diri kita pada saat berinteraksi dengan anak. Kehadiran dari fisik, pikiran, dan emosi. Kehadiran tersebut merupakan tonggak dari hubungan yang mampu mempengaruhi emotional intelligence dan karakter anak. Terutama pada kedua orang tua yang bekerja, kehadiran ini sangat penting untuk menciptakan waktu yang berkualitas dengan anak.

Mari kita tinggalkan, barang maupun pikiran, saat sedang berinteraksi dengan anak kita. Mari kita lihat wajah anak kita dengan mata dan wajah penuh dengan senyuman, cinta, dan kegembiraan.


Referensi
2 Hanzky. (2011). The Tiger Mom: What I Learned From The Book. Diunduh dari www.mommiesdaily.com/2011/04/27/r-the-tiger-mom-what-i-learned-from-the-book/
3 Feiertag, L. & Barmon, A. Compassionate Parenting. Diunduh dari www.bewellworld.com/article.cgi?id=Psychotheraapy_1963
4 Tartakovsky, M. (2013). An Exercise in Self-Compassionate Parenting. Diunduh dari www.psychcentral.com/blog.archives/2013/03/18/an-exercise-in-selff-compassionate-parenting/  
5 Stosny, S. (2011). Compassionate Parenting. Diunduh dari www.psychologytoday.com/blog/anger-in-the-age-entitlement/201102/compassionate-parenting