Tentang Kami

11 Juni 2014

Melihat Dunia melalui Jendela Toleransi



Ima Santika Jayati, S.Psi.
(kandidat psikolog klinis, pemerhati isu resolusi konflik) 


(sumber : examiner.com)



Manusia dan Tuhan adalah sepasang komponen yang tidak terpisahkan. Setiap ajaran agama hampir selalu mengisahkan bagaimana manusia seharusnya hidup dalam keterhubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Keberadaan agama merupakan suatu legitimasi atas keterikatan manusia dengan Tuhan. Dengan mengikrarkan diri untuk memeluk suatu agama, seseorang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban atau ibadah sesuai dengan peraturan agama yang dianutnya. 

Namun, apakah “kepemilikan” atas suatu agama mampu menjamin seseorang untuk dapat menjalani hidup secara damai dengan diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya? Kenyataannya berkata lain. Kasus yang banyak ditangani PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) pada tahun 2013 bersumber dari konflik antar agama. Agama yang seharusnya mampu menjadi pengendali bagi seseorang dalam bertindak, justru disalahgunakan sebagai senjata untuk memicu pertikaian. Sebagai contoh, kasus yang terjadi di Yogyakarta baru-baru ini. Kelompok dari suatu agama melakukan penyerangan terhadap pemeluk agama lain yang sedang melakukan perayaan ibadah. Peristiwa semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi jika anggota kelompok tersebut menyadari bahwa perbedaan tata cara ibadah merupakan hal yang wajar dan seharusnya dihargai.

Di Indonesia kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 ayat (2) yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dengan adanya perlindungan yang resmi dari pemerintah, setiap warga negara Indonesia pun seharusnya dapat beribadah dengan tenang tanpa adanya gangguan dari pihak lain. Tragedi penyerangan agama telah membuat ketenangan masyarakat terusik. Hal ini seolah memberikan gambaran kepada kita bahwa undang-undang saja tidak cukup untuk mengatur perilaku masyarakat. 

Lalu apakah pemerintah perlu merevisi isi undang-undang ataukah tokoh-tokoh agama perlu semakin giat memberikan ceramah agama pada masyarakat untuk mencegah terjadinya konflik? Persoalan utama bukan terletak pada seberapa besar proteksi yang dilakukan terhadap masyarakat, tetapi seberapa dalam masyarakat mampu memahami isi undang-undang dan kitab agama mereka masing-masing. Memeluk agama bukan hanya tindakan menerapkan ajaran agama, tetapi juga proses mengintegrasikan ajaran agama ke dalam hati dan pikiran. 

Dalam tulisan yang berjudul The Heart, Mind, and Spirit, Profesor Mohamed Omar Salem menjelaskan hasil penelitian Lacey dan Lacey (1978) bahwa hati mampu berkomunikasi dengan otak sehingga dapat mempengaruhi seseorang dalam mempersepsi dan bereaksi terhadap dunia sekitarnya. Menurut hasil penelitian hati memiliki cara kerja yang berbeda dengan perintah dari sistem saraf autonomik. Hati mampu mengirimkan pesan-pesan penuh makna pada otak sehingga pesan-pesan tersebut tidak hanya dipahami tetapi juga ditaati. Berdasarkan hasil tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa hati merupakan komponen yang penting dalam pemrosesan agama. Apabila seseorang menerima informasi terkait agama melalui hati, maka informasi tersebut akan lebih mengena karena seseorang tidak hanya memahami agama secara logika, tetapi agama tersebut mampu membuat perasaan menjadi lembut dan penuh ketaatan. 

Agama seperti halnya benda yang bisa dipandang dari berbagai sisi. Kita bisa memandangnya sebagai ketaatan vertikal pada Tuhan dan sebagai hubungan horizontal dengan sesama. Kedua jenis hubungan tersebut hendaknya dapat berjalan secara seimbang. Fokus pada ketaatan terhadap Tuhan saja akan membuat hubungan dengan sesama terabaikan. Demikian pula jika kita hanya sibuk mengurusi persoalan sosial tanpa memperhatikan aspek transendental. Hubungan dengan sesama akan mampu mewujudkan harmoni apabila dilandasi dengan kecintaan terhadap Tuhan yang tercermin melalui sikap toleransi. Hal ini seperti yang disampaikan Axtell dalam tulisan yang berjudul The Psychology of Worldviews karya Mark E. Koltko-Rivera bahwa kunci utama dari perdamaian sosial dan kemajuan universal adalah toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. 

Toleransi merupakan sumber kekuatan integrasi bangsa karena dalam ruang lingkup toleransi perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lain tidak dipandang sebagai keburukan. Toleransi membuka ruang besar bagi terciptanya penghargaan terhadap karakteristik individu atau kelompok yang unik. 

Agama adalah keyakinan personal dan pengalaman mistis, demikian yang disampaikan dalam debat tematik PBB di New York tahun 2007. Oleh sebab itu, perbedaan dalam beragama seharusnya tidak dapat menjadi landasan bagi seseorang untuk menyerang pemeluk agama lain karena agama merupakan wilayah personal. Toleransi memiliki sifat yang mirip dengan agama, yakni dalam masalah “personal”. Informasi tentang toleransi bisa diperoleh seseorang melalui pembelajaran yang diajarkan dalam agama atau ilmu sosial, tetapi pemahaman dan penerapan toleransi adalah tanggung jawab personal. 

Untuk dapat mengembangkan toleransi secara optimal, seseorang perlu belajar melihat dunia secara personal, yakni dengan merasakan hal-hal di sekitarnya sebagai bagian dari miliknya. Ketika seseorang menyadari bahwa dia akan merasa sakit ketika tubuhnya disakiti, maka dia akan berusaha untuk menjaga agar orang lain pun tidak merasakan hal yang sama. Kesadaran semacam ini jika terus dipupuk akan dapat berkembang menjadi kepedulian terhadap sesama secara luas dan meningkatkan penghargaan terhadap perbedaan dalam beragama.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar