Tentang Kami

1 Juni 2014

Tebalnya Selubung Fanatisme


(oleh Mardiana Hayati Solehah, M.Psi., Psi.)


(sumber : antarafoto)  



Sebentar lagi masyarakat Indonesia akan menyambut ajang pemilihan calon presiden (pilpres) yang menentukan nasib bangsa Indonesia selama lima tahun ke depan. Dari dua calon tersebut, sebagian orang telah menentukan pilihan masing-masing, sebagian yang lain belum memutuskan. Kelompok yang telah menentukan pilihan ini seringkali memberikan informasi dalam berbagai media mengenai keunggulan pilihannya serta kelemahan pihak lawan. Informasi-informasi tersebut ada yang bersifat objektif, tetapi ada juga yang sangat subjektif, bahkan dapat dikatakan fanatik.

Perilaku fanatik terhadap calon presiden dan wakil presiden saat ini terkadang justru menjadi nilai negatif dalam keberlangsungan pemilu presiden. Mereka yang fanatik lah yang memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak black campaign atau negative campaign. Di satu sisi, mereka selalu beranggapan bahwa calon mereka adalah paling benar dan tidak memiliki sisi buruk sedikitpun.

Apa itu fanatisme? Fanatisme berasal dari bahasa Latin “fanaticus” (ekstasi, antusiasme, menggebu-gebu), “fanum” (tempat suci, kuil, tempat pemujaan), dan “fano” (pengabdian). Berdasarkan terminologi, fanatisme dapat diartikan sebagai pengabdian pada tempat suci atau kuil secara antusias dan menggebu-gebu. Para pakar psikologi kemudian merumuskan kembali definisi fanatisme, yaitu usaha untuk mengejar atau mempertahankan sesuatu dengan cara-cara yang ekstrem dan penuh hasrat, melebihi batas kewajaran.

Menyukai sesuatu merupakan hal yang manusiawi. Manusia dapat memiliki tokoh idola, menyukai suatu benda, atau setia pada merk tertentu. Bila kita menyukai dan setia pada suatu hal tertentu, maka kita dapat dikatakan sebagai “fans”. Akan tetapi, saat rasa suka tersebut berlebihan, maka berubah menjadi “fanatik”. Sebagai contoh, misalkan Anto menyukai Justin Bieber. Rasa suka tersebut mendorong Anto untuk senantiasa mendengarkan lagu-lagu Bieber dan mengoleksi semua CD-nya. Perilaku Anto dapat disebut sebagai perilaku fan. Di lain pihak, Amir juga menyukai Justin Bieber. Besarnya rasa suka kepada Bieber, membawa Amir sampai rela merogoh kocek dalam-dalam untuk menyemir rambutnya hingga pirang, bahkan bertindak lebih jauh lagi dengan melakukan operasi plastik agar dapat mirip dengan idolanya. Perilaku Amir sudah dapat dikatakan fanatik. Seorang fan biasanya meniru gaya berpakaian atau bicara atau kebiasaan khas idolanya, tetapi seorang fanatik akan mengubah dirinya menjadi idolanya tersebut plek-plekan.

Jenderal besar Napoleon Bonaparte pernah berkata, “there’s no place in fanatic’s head where reasons can enter” (tidak ada tempat sedikit pun tempat dalam kepala orang yang fanatik untuk menerima alasan). Benar adanya yang dikatakan oleh Napoleon. Seorang fanatik memiliki pola pikir satu arah, kaku, memegang teguh keyakinan mereka secara absolut, serta mengerahkan energi mereka untuk membutikan keyakinan mereka adalah benar. Oleh karena itu, seorang yang fanatik sangat rentan terhadap kritik. Menurut mereka, kritik yang ditujukan merupakan cara-cara licik untuk menghancurkan mereka. Selain itu, terjadi selective attention pada mereka, yaitu hanya memusatkan perhatian pada hal-hal yang mendukung kecintaan mereka dan hal-hal yang dapat menjatuhkan lawan mereka. Mereka tidak akan mempedulikan argument, fakta, atau informasi apapun yang menjelek-jelekkan idola mereka dan membantah setiap informasi berisi keunggulan lawan.

Dalam fanatisme, seringkali terjadi bias yang menyebabkan standar ganda. Standar ganda terjadi bila satu hal yang sama terjadi pada dua pihak namun menimbulkan respons yang berbeda. Misalnya Pak Budi mendukung calon lurah ABC yang sedang berkompetisi dengan calon lurah DEF. Suatu hari beredar info bahwa calon ABC terlibat tindak korupsi. Mendengar kabar tersebut, Pak Budi langsung menyangkal kebenarannya (“ah, Pak ABC kan baik dan jujur. Itu pasti fitnah! Atau anak buahnya yang korupsi tapi sebagai pemimpin yang cakap, dia yang akhirnya rela menerima dampaknya. Saya yakin ini pasti akal-akalan tim sukses Pak DEF”). Sedangkan bila Pak DEF yang terkena tuduhan terlibat tindak korupsi tersebut, Pak Budi akan langsung membenarkannya (“memang dia itu tidak jujur! Baru mau mencalonkan saja sudah korupsi, bagaimana nanti bila sudah terpilih! Mau jadi apa desa ini dipimpin oleh orang yang tidak amanah seperti itu!”). Bila kita perhatikan ilustrasi tersebut, kedua calon sama-sama terkena tuduhan tindak korupsi namun mendapatkan respons yang berbeda. Seorang fan akan mencari tahu terlebih dahulu berbagai sumber informasi yang terpercaya untuk mengklarifikasi tuduhan tersebut, sedangkan seorang fanatik akan menerapkan standar ganda dalam memberikan penilaian.

Bagi seorang fanatik, idolanya tersebut merupakan sosok dewa, orang suci, atau tokoh paling ideal yang harus dijunjung setinggi-tingginya.  Dikarenakan hebatnya gambaran sang idola, para fanatik menganggap idolanya tidak mungkin berbuat kesalahan. Oleh karena itu, pada beberapa kasus fanatisme, sang idola diancam, dilukai, bahkan dibunuh oleh pelaku fanatik yang merasa kecewa karena sang idola tidak sesuai dengan gambaran idealnya.

Fanatisme erat pula kaitannya dengan agresivitas dan tingginya tindak kekerasan. Psikolog Albert Ellis menyatakan bahwa seorang yang fanatik meyakini bahwa keyakinan mereka merupakan kebenaran utama dan pandangan serta opini lawan merupakan hal yang mengganggu ketentraman hidup sehingga harus dihentikan dengan cara apapun. Seorang fan akan mempromosikan idolanya pada orang lain dan merasa kesal bila orang tersebut tidak turut menyukai idolanya, namun tidak akan sampai memutuskan hubungan. Sebaliknya, seorang fanatik akan memaksa orang lain untuk menyukai idolanya dan murka bila orang lain tidak mengikuti pilihan mereka, kemudian menjauhi temannya tersebut karena menganggapnya sebagai pihak lawan, menghina bahkan hingga melukai. Dalam konteks pemilihan pilpres yang sedang hangat-hangatnya ini, saya sering melihat komentar-komentar para fanatik dalam berbagai portal berita yang isinya sangat kasar; hinaan, ancaman, bahkan kutukan-kutukan bagi si penulis artikel maupun para pendukung yang sempat berkomentar sebelumnya.

Akhir kata, saya ingin mengajak para pembaca untuk refleksi diri. Saya yakin banyak di antara kita yang telah menetapkan pilihan pada salah satu calon dan berusaha untuk mempromosikan calon pilihan tersebut dalam berbagai cara. Sudah cukup banyak tautan yang saya dapatkan di media sosial mengenai kelebihan maupun kekurangan dari masing-masing calon. Dari informasi yang sangat abal dan membuat jengkel sampai informasi yang begitu detail juga mencerdaskan.

Tidak ada larangan untuk menyukai calon tertentu atau meramaikan timeline sosial media dengan berbagai tautan, namun sadarilah apakah tindakan Anda sudah dapat dikategorikan sebagai fanatisme? Jangan sampai perilaku “memuja” kita menjadi berlebihan sehingga dapat menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Fanatisme dapat membuat Anda menjadi seorang yang buta, tuli, tidak toleran, dan bodoh, serta dapat menghilangkan tali silaturahmi yang telah terjalin dengan baik. Menurut saya, tidak ada gunanya Anda ngotot mengorbankan segala hal untuk membela seseorang yang tidak memikirkan Anda.

Mari menjadi pemilih bijak dengan membuka mata, telinga, hati, dan pikiran seluas-luasnya!      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar