Tentang Kami

24 Juli 2014

It Takes A Village to Raise A Kid, Kontribusi Negara untuk Kesejahteraan Anak Indonesia



Oleh: Novita, M.Psi., Psi.
(Psikolog klinis, pemerhati pengasuhan anak)


sumber: vemale.com



Orang tua memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan pemenuhan hak-hak anak. Didasarkan insting dan rasa kasih sayang, secara alamiah orang tua berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya. Orang tua berusaha memberikan yang terbaik untuk setiap aspek kehidupan anak seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lain-lain. Pemenuhan hak dan kebutuhan anak merupakan prasyarat penting agar anak dapat mencapai kesejahteraan (children well-being). Anak dikatakan sejahtera jika pada saat ini memiliki kehidupan yang bahagia dan berkualitas, serta memiliki optimisme terhadap masa depannya1.

Interaksi anak dengan lingkungan tidak terbatas hanya dengan orang tua atau keluarga. Seiring dengan perkembangannya, anak juga berinteraksi dengan pengasuh, day care, dan sekolah. Interaksi anak dengan orang atau lingkungan terdekat ini disebut dengan mikrosistem. Interaksi anak dengan individu atau kelompok dalam mikrosistem ini sangat berpengaruh pada anak. Kerjasama antara individu dan kelompok dalam mikrosistem dinamakan mesosistem. Meninjau cakupan yang lebih luas, kesejahteraan anak juga dipengaruhi oleh eksosistem. Eksosistem adalah individu atau kelompok yang meski tidak berinteraksi langsung dengan anak tetapi memiliki pengaruh terhadap anak. Contohnya adalah tempat kerja orang tua, keluarga besar, lingkungan tempat tinggal, dan seterusnya. Cakupan yang paling luas tetapi memiliki pengaruh besar pada anak adalah makrosistem. Budaya, kondisi ekonomi negara, perang, dan pemerintah pusat yang berperan dalam menentukan kebijakan nasional merupakan bagian dari makrosistem2.

Setiap bagian dalam setiap level ekologi tersebut memiliki pengaruh yang penting pada anak. Kesejahteraan seorang anak tidak bergantung pada peran orang tua saja. Saat anak memasuki usia sekolah, orang tua akan berbagi peran dengan guru dan sekolah untuk mengasuh anak. Orang tua dan setiap bagian dalam mesosistem harus bahu membahu dengan baik. Nilai-nilai positif yang diajarkan oleh keluarga besar, tempat kerja yang mendukung kesejahteraan pekerjanya, dan lingkungan tempat tinggal yang sehat merupakan kondisi ideal yang diharapkan. Pemerintah juga memegang peranan yang sangat penting. Secara tidak langsung, kebijakan yang diambil oleh pemerintah dapat mempengaruhi setiap aspek kehidupan anak. Pemerintahan yang sehat dan dapat diandalkan sangat penting bagi terjaminnya kesejahteraan anak.

Benar kiranya peribahasa yang menyatakan “it takes a village to raise a kid”. Terlepas dari berbagai penafsiran terhadap arti dari peribahasa ini3, dalam konteks pengaruh lingkungan terhadap kesejahteraan anak, maka benar bahwa kita membutuhkan bantuan orang sekampung untuk membesarkan seorang anak. Bahkan untuk memastikan kesejahteraan anak benar-benar terlindungi dan dapat ditingkatkan, kita tidak hanya butuh orang sekampung, akan tetapi kita membutuhkan orang senegara untuk membesarkan seorang anak. Berdasarkan pemahaman akan besarnya peran negara terhadap kesejateraan anak, negara-negara maju sudah memberikan perhatian serius terhadap isu ini. Beberapa negara di Eropa bahkan sudah memiliki undang-undang untuk menjamin peningkatan kesejahteraan anak1.

Sudahkah negara kita menjamin kesejahteraan anak Indonesia? Fenomena-fenomena yang terjadi di Indonesia justru menunjukkan bertolakbelakangnya antara usaha yang dilakukan orang tua dan kondisi sistem yang lain. Saat di rumah, orang tua berusaha mengajarkan anak agar memiliki moral dan perilaku yang baik. Tetapi usaha tersebut berbenturan dengan kondisi lingkungan. Belum lekang dari ingatan kita kasus anak V (5 tahun) yang meloncat dari lantai 19 apartemennya karena marah dengan ibunya4. V melakukan aksi bunuh diri tersebut akibat modelling aksi pahlawan dari media yang pernah ditontonnya. Atau kasus anak MS (7 tahun) yang meninggal karena dikeroyok teman sekolahnya5. Peristiwa tersebut merupakan dampak dari modelling anak terhadap perilaku di lingkungan atau tayangan-tayangan di media. 

Saat di rumah, orang tua berusaha melindungi anak dari potensi bahaya dan kejahatan yang dapat mengancam anaknya. Betapa mirisnya hati kita saat kita mengetahui adanya kasus kekerasan seksual terhadap anak di JIS6. Bahkan kasus kekerasan seksual pada anak yang tidak putus membuat kita tercengang terungkap tidak lama setelah kasus di JIS mencuat. Peristiwa ini merupakan pukulan yang menyakitkan sebagai dampak dari kelalaian terhadap pengaturan media, pornografi, dan pengawasan terhadap instansi pendidikan.

Saat di rumah, orang tua berusaha mengajarkan bahwa kerja keras dalam suatu proses lebih penting dari pada hasil yang didapat. Tetapi fakta yang harus dihadapi oleh anak, orang tua, dan sekolah adalah peliknya efek domino yang ditimbulkan oleh Ujian Nasional 7,8.

Peristiwa-peristiwa tersebut hanya merupakan contoh dari fenomena gunung es yang ada. Fenomena yang sebenarnya dapat diantisipasi supaya tidak terjadi jika negara memiliki kebijakan strategis demi kesejahteraan anak dan kekuatan untuk mengimplementasikannya. It will be a long list, jika kita mau mendaftar tindakan-tindakan yang bisa dilakukan oleh negara. Akan tetapi permasalahan kesejahteraan anak belum menjadi perhatian utama dari pemerintahan saat ini maupun pemerintahan baru yang sebentar lagi akan dibentuk9, 10.

Saat ini kita hanya baru bisa berangan-angan memiliki sistem dan kebijakan seperti di negara-negara maju. Seperti sistem pendidikan yang mengoptimalkan potensi dan membentuk karakter positif anak 11, 12. Orang tua juga pasti mengidamkan cara pemerintah Jepang “menginvestasikan” kesehatan anak dengan sistem kesehatan yang mereka miliki 13. Kita juga baru saja menyadari pentingnya memberikan pendidikan seksual sesuai usia dan perkembangan anak. Salah satu aspek pendidikan yang kita lupakan, padahal pendidikan seksual sama pentingnya dengan pendidikan keilmuan dan pendidikan karakter. 

Besar harapan agar kesejahteraan anak Indonesia semakin mendapat lebih banyak sorotan, sehingga isu-isu yang terkait dapat terselesaikan. Anak-anak adalah aset bangsa. Kejayaan bangsa Indonesia berada di tangan mereka di masa yang akan datang. “Investasi” terhadap moral, kesehatan, pendidikan, dan keamanan merupakan warisan berharga yang dapat kita berikan.

Tanggung jawab utama dalam membesarkan dan mengasuh anak memang berada di tangan orang tua. Akan tetapi kita tidak dapat menafikkan peran sistem yang lain, termasuk peran negara, dalam meningkatkan kesejahteraan anak. Orang tua membutuhkan support berupa edukasi, sistem, dan kebijakan yang mendukung untuk menjalankan tanggung jawabnya. Ibarat puzzle, peran negara merupakan kepingan yang akan menyempurnakan gambaran kesejahteraan anak Indonesia menjadi satu bagian utuh. That’s why it takes a nation to raise a kid for the better future of our children.


NB: Penulis sangat menyarankan kepada pembaca untuk membaca referensi-referensi dalam tautan-tautan berikut.


Referensi
1 Rees, G., Goswami, H., Pople, L., Bradshaw, J., Keung, A., & Main, G. (2013). The Good Childhood Report 2013.  The Children’s Society.
2 Oswalt, A. (2008). Urie Brofenbrenner and Child Development. Diunduh dari www.mentalhelp.net/poc/view_doc.php?type=doc&id=7930
3 Wikipedia. (2014). It Takes a Village. Diunduh dari www.en.m.wikipedia.org/wiki/It_Takes_a_Village
4 M. P., I. (2014). Anak Bunuh Diri di Penjaringan Suka Tiru Spiderman. Diunduh dari www.m.tempo.co/read/news/2014/05/02/064574904/Anak-Bunuh-Diri-di-Penjaringan-Suka-Tiru-Spiderman
5 Sinaga, S. (2014). Bocah SD di Makassar Tewas Diduga Dikeroyok Teman Sekolah. Diunduh dari www.m.liputan6.com/news/read/2030720/bocah-sd-di-makassar-tewas-diduga-dikeroyok-teman-sekolah
6 Fitria, A. G. (2014). Kekerasan Seksual, Guru JIS Terindikasi Terlibat. Diunduh dari www.m.tempo.co/read/news/2014/04/28/064573929/Kekerasan-Seksual-Guru-JIS-Terindikasi-Terlibat
7 Munir, S. (2014). Sekolah Dilaporkan Jual Belikan Surat Hasil Ujian untuk Beli “Sound System”. Diunduh dari  www.regional.kompas.com/read/2014/05/26/1155092/Sekolah.Dilaporkan.Jual.Belikan.Surat.Hasil.Ujian.untuk.Beli.Sound.System.
8 Munir, S. (2014). Target Lulus 100 Persen, Sekolah Ini Gelar Les Malam. Diunduh dari www.regional.kompas.com/read/2014/05/21/0932450/Target.Lulus.100.Persen.Sekolah.Ini.Gelar.Les.Malam.
9 Subianto, S. & Rajasa, M. H. (2014). Visi, Misi dan Program Bakal Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Diunduh dari www.kpu.go.id
10 Widodo, J. & Kalla, J. (2014). Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian: Visi Misi, dan Program Aksi. Diunduh dari www.kpu.go.id
11 Nenglita. (2014). Asyiknya Sistem Pendidikan Finlandia. Diunduh dari www.mommiesdaily.com/2014/06/25/asyiknya-sistem-pendidikan-finlandia
12 Faridz, N. (2014). Bukan Hanya Menjadi Murid, Tetapi Juga Guru. Diunduh dari  www.theurbanmama.com/articles/bukan-hanya-menjadi-murid-tetapi-juga-guru.html
13 Vibe. (2013). Fakta Unik Hamil di Negeri Sakura. Diunduh dari www.theurbanmama.com/articles/fakta-unik-hamil-di-negeri-sakura.html

13 Juli 2014

Cerita Dibalik Tingginya Dagu dan Tertunduknya Kepala



Oleh: Wahyu Nhira Utami, M.Psi., Psi. (Psikolog klinis, staf Badan Kepegawaian Daerah Prov. Kalimantan Timur)





Saya adalah .... (silahkan isi sendiri)


Banyak psikolog yang mengatakan, kata dan kalimat yang disematkan di belakang kalimat “Saya adalah ...” merupakan bagian yang penting dari keseluruhan kalimat. Apakah kita akan menuliskan sebuah deskripsi diri yang menyemangati atau mengecilkan hati, tulisan itu akan menjadi cerminan atas cara kita menilai diri sendiri. 

Menilai diri sendiri adalah sesuatu yang tricky. Seseorang bisa sangat mudah terjerumus pada penilaian yang sangat mengagung-agungkan kelebihan dirinya, menganggap dirinya mampu melakukan segalanya, jadi harus dihormati dan diperlakukan dengan spesial. Hal yang paling umum adalah adanya pemikiran bahwa dirinya yang paling hebat dan paling benar, sehingga seringkali menilai orang lain lebih rendah dari dirinya. Coba kita ingat, berapa banyak orang dengan karakteristik “dagu tinggi” yang ada di sekitar kita? Atau mungkin, kita pun termasuk ke dalam golongan ini? 

Berlawanan dengan dia yang berdagu tinggi, ada lagi orang yang menilai dirinya terlalu rendah. Orang yang seperti ini cenderung sulit untuk melihat berbagai sisi membanggakan dari dirinya. Disaat orang lain memujinya dengan berbagai prestasi dan potensi yang ia miliki, ia akan jadi orang pertama yang mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang gagal, tidak punya prestasi, dan karena itu tidak pantas mendapatkan pujian. Sangat sulit bagi seseorang dengan karakteristik “kepala tertunduk” untuk menyelamati dirinya sendiri atas pencapaiannya. Nah, apakah kita termasuk golongan yang ini?
Memperhatikan gambaran diatas, munculah pertanyaan:

 Apa yang membuat kedua orang ini begitu berbeda? Apa yang sebenarnya mempengaruhi seseorang dalam memandang dirinya sendiri?” 

Nielsen (2002) mengatakan bahwa cara seseorang memandang dirinya sangatlah berkaitan dengan rasa cinta dan penerimaan yang dimilikinya. Seseorang yang merasa bahwa dirinya dicintai dan diterima oleh lingkungan sekitarnya akan tumbuh menjadi seorang pribadi yang merasa nyaman dengan dirinya apa adanya. Orang seperti ini, tidak menuntut pengakuan dan penghormatan dari orang lain karena ia sendiri sudah mengakui dan menghormati dirinya sendiri. Orang seperti ini pun tidak akan selalu tertunduk malu dan merasa dirinya tidak bermakna, karena ia menyadari betapa banyak potensi dirinya dan begitu berharganya dirinya. 

Carl Rogers, ahli aliran psikologi Humanistik, mengatakan bahwa manusia belajar mencintai dan menerima diri semenjak ia masih kecil. Pelajaran seperti ini tidak akan didapatkan di bangku sekolah, melainkan langsung diajarkan oleh orang terdekat anak. Orangtua lah yang berperan untuk mengajarkan cara mencintai dan menerima tanpa syarat (Unconditional Positive Regard) kepada anaknya. 

“Bagaimana mengajari seorang anak kecil hal seabstrak cinta dan penerimaan?” 

Pada abad 17, John Locke memperkenalkan Teori Tabularasa, yang berpendapat bahwa saat lahir manusia tak ubahnya seperti kertas kosong. Bila orang-orang di sekitar dan pengalaman keseharian diibaratkan sebagai spidol berwarna-warni, maka inilah yang akan menjadi warna di kertas putih kosong tersebut. Jika orangtua dan lingkungan di sekitar anak menunjukkan rasa cinta, perhatian, dan menerima anak dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saat itulah anak merasakan cinta dan penerimaan. Tidak perlu berpuluh-puluh lembar materi untuk mengajari anak, cukup tunjukkan saja rasa cinta dan penerimaan padanya. 

Pernah dengar sebuah kutipan “anak kecil adalah seorang peniru yang ulung”? Ya, mereka belajar dengan memperhatikan lalu meniru perilaku orang di sekitarnya. Jika sejak kecil, orangtuanya jarang memeluk, jarang mengucapkan kata sayang, menelantarkannya, jarang bermanis kata dengan anak, banyak memarahi dan mengkritik, serta tidak menunjukkan kebanggaannya atas prestasi anaknya, besar kemungkinannya ia akan memperlakukan orang lain dengan perilaku yang seperti itu pula. Jika dilihat ke dalam gambaran yang lebih luas lagi, inilah manifestasi dari minimnya rasa cinta dan penerimaan yang dimilikinya. 

Berdasarkan elaborasi di atas, menurut saya “Si Dagu Tinggi” dan “Si Kepala Tertunduk” sama-sama tergolong dalam kelompok minim rasa cinta dan penerimaan. Pada dasarnya mereka sama, yang membedakan hanyalah “Si Dagu Tinggi” memiliki keberanian yang (jauh) lebih banyak dari “Si Kepala Tertunduk” untuk berbicara dan mengekspresikan ke-’AKU’-annya. 

Setiap manusia pasti membutuhkan rasa cinta dan penerimaan. Bagi mereka yang tidak mendapatkannya dari lingkungan terdekatnya, mereka akan mencarinya dari lingkungannya yang lain, mencari dan terus mencari sampai dapat.  Pada satu titik, mereka akan menyadari betapa sulitnya untuk mendapatkannya. Kalaupun ada yang berhasil, mereka pasti ingin yang lebih dan lebih lagi. Mengapa? Karena sebanyak apapun rasa cinta dan penerimaan yang orang lain berikan, bila ia belum mampu mencintai dan menerima dirinya sendiri, semua akan terasa kurang. Intinya, hanya dirinya sendirilah yang mampu melengkapi dirinya. 

Stop expecting others to show you love, acceptance, commitment, and respect, when you don’t even show that to yourself.
            –Steve Maraboli-