Tentang Kami

11 Juli 2014

Siap Menang, Siap Kalah



Mardiana Hayati Solehah, M.Psi, Psikolog
Psikolog Klinis Penggiat gerakan #ActNow. “Karena Peduli Adalah Bertindak” 

(Sumber: antarafoto)



Siapa yang belum pernah berada dalam situasi yang kompetitif? Saya rasa tidak ada. Hampir semua aspek kehidupan manusia mengandung unsur kompetisi. Bagi kita yang bekerja. sejak pagi dimulai, sudah harus berkompetisi dengan anggota keluarga yang lain atau teman kos untuk buru-buru mandi, disusul dengan berebut tempat duduk di kereta atau angkutan umum lain atau malah berebutan tempat parkir. Di kantor pasti lah kita dituntut untuk menjadi seorang yang ambisius, memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, dibandingkan performa kita dengan rekan kerja yang lain, dan dikejar-kejar dengan target. Saat pulang, kita kembali lagi berkompetisi dengan ratusan pekerja yang lain untuk memenuhi celah kecil di tengah jalanan Jakarta agar bisa segera sampai di rumah. Sampai di rumah, mungkin kita akan disuguhi debat oleh orangtua atau pasangan, diajak bermain catur oleh tetangga, atau diajak adu game oleh kakak-adik. Seolah tidak ada habis-habisnya “turnamen” yang harus kita hadapi.

Sejak kecil, kita senantiasa dicekoki dengan berbagai nasihat, cerita, kutipan-kutipan yang mengandung unsur kemenangan. Kita dibentuk untuk menjadi seorang pemenang. “Kegagalan adalah Kemenangan yang Tertunda”. Itulah kutipan yang sering kita dengar. Tak sadar pula saat menemui teman yang sedang bersedih karena gagal, kata-kata yang sering kita ucapkan selalu bernada semangat. Berjuang ya! Jangan putus asa! Semangat! Pasti kamu bisa! Maju terus!

Segala turnamen dan kata-kata penyemangat tersebut seolah menuntut kita untuk selalu “on”. Selalu siaga dan bersiap menghadapi apapun. Maju dan terus berjuang untuk memperoleh kemenangan. Cukup banyak kejadian dimana “kemenangan” menjadi suatu obsesi sehingga pengejarnya melakukan berbagai cara untuk meraihnya. Seluruh helaan nafas seakan didedikasikan hanya untuk mencapai satu kata : MENANG.

Terlalu banyaknya dogma yang masuk membuat kita terkadang lupa akan kekalahan. Padahal menang-kalah merupakan dua sisi mata uang yang selalu hadir bersamaan. Saat berkompetisi dalam turnamen apapun selalu ada dua kemungkinan, yaitu menang dan kalah. Setiap orang yang berkompetisi harus bersedia menerima kemenangan yang selalu datang sepaket dengan kekalahan.

Berbicara mengenai kompetisi, saya ingin membahas sedikit mengenai turnamen besar yang sedang terjadi di negeri kita ini. Saya menyoroti ironi dari masa tenang kampanye capres-cawapres yang sama sekali tidak mencerminkan ketenangan. Masih saja banyak pendukung yang berkoar-koar, saling menjelekkan, bahkan mengancam ini itu bila idola mereka tidak menang. Beredar pula berita-berita yang tidak jelas kebenarannya sebagai upaya untuk mendiskreditkan pihak tertentu. Banyak pula yang bernazar aneh-aneh bila calonnya menang atau calon lawannya kalah. Ironisnya sebagian besar orang yang melakukan hal-hal “ajaib” tersebut adalah para tokoh terhormat.

“Kalah”. Kata tersebut seolah melambangkan kegagalan, pecundang, orang yang salah; sehingga kita mati-matian menghindarinya. Terlebih bila sejak kecil kita dididik untuk senantiasa menjadi pemenang. Saat mengalami kekalahan, kita menolak hal tersebut menjadi bagian dari diri kita. Berbagai alasan dilontarkan demi melindungi diri (“badan lagi nggak fit”, “lawan curang”, “juri tidak adil”, “pertandingan cuma formalitas”, dll).

Seorang yang terfokus hanya pada kemenangan bagaikan karet gelang yang terus menerus direntangkan. Karet gelang tersebut senantiasa tegang. Memang sang karet masih dapat mulur, namun perlu diperhatikan, semakin panjang karet tersebut ditarik, maka semakin tipis dan rapuh. Hanya tinggal menunggu waktu sampai karet tersebut putus.

Bayangkan bila karet gelang tersebut adalah tubuh manusia. Tubuh yang terus menerus dipaksa untuk siaga akan memaksa kerja sistem saraf simpatis. Saraf simpatis merupakan sistem saraf yang berperan untuk kontraksi berbagai organ tubuh, seperti jantung, lambung, hati, ginjal, dan berbagai kelenjar. Saat kita siap siaga di depan smart phone memantau sosmed untuk segera dapat memberikan balasan kata-kata pedas pada lawan, sibuk berdebat, atau berkreasi mengarang berita yang bombastis; tubuh kita berada dalam keadaan kontraksi. Detak jantung meningkat, sekresi glukosa meningkat, asam lambung naik, dan kelenjar memproduksi lebih banyak keringat. Terus menerus dalam kondisi seperti itu dapat mengakibatkan gangguan kesehatan serius. Belum lagi efek psikologisnya, yaitu gelisah, susah tidur, mudah marah, dan sulit berkonsentrasi pada hal lain.

Tapi kan demi menang gitu loh! Malu-maluin dong kalau kalah! 

Padahal bersiap untuk kalah merupakan salah satu cara untuk menenangkan diri di tengah tuntutan kompetisi. Untuk menjaga bentuk dan fungsinya, karet gelang tersebut harus sesekali dilepaskan, baru dapat ditarik kembali. Perlu juga diperhatikan sejauh mana karet tersebut mampu menahan beban tarikan. Menyadari dan menerima bahwa kita dapat mengalami kekalahan merupakan cara untuk melepaskan karet gelang tersebut. Sama halnya dengan karet gelang, tubuh kita pun berhak memiliki waktu istirahat, walaupun hanya untuk sekadar menarik nafas panjang.

“Kalah jadi abu, menang jadi arang”. Kalah-menang bukanlah hal yang mutlak harus diperoleh. Mari kita manfaatkan sedikit waktu tenang untuk benar-benar tenang. Untuk menyiapkan diri bahwa kita bisa kalah. Hal terpenting adalah kita sudah melakukan usaha yang terbaik. Sekarang mari berdoa dan biarkan Tuhan yang bekerja!

Do your best and let God do the rest” (Ben Carson)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar