Oleh: Wahyu Nhira Utami, M.Psi., Psi. (Psikolog
klinis, staf Badan Kepegawaian Daerah Prov. Kalimantan Timur)
Saya adalah .... (silahkan isi
sendiri)
Banyak psikolog yang
mengatakan, kata dan kalimat yang disematkan di belakang kalimat “Saya adalah
...” merupakan bagian yang penting dari keseluruhan kalimat. Apakah kita akan
menuliskan sebuah deskripsi diri yang menyemangati atau mengecilkan hati,
tulisan itu akan menjadi cerminan atas cara kita menilai diri sendiri.
Menilai diri sendiri
adalah sesuatu yang tricky. Seseorang
bisa sangat mudah terjerumus pada penilaian yang sangat mengagung-agungkan kelebihan
dirinya, menganggap dirinya mampu melakukan segalanya, jadi harus dihormati dan
diperlakukan dengan spesial. Hal yang paling umum adalah adanya pemikiran bahwa
dirinya yang paling hebat dan paling benar, sehingga seringkali menilai orang
lain lebih rendah dari dirinya. Coba kita ingat, berapa banyak orang dengan
karakteristik “dagu tinggi” yang ada di sekitar kita? Atau mungkin, kita pun
termasuk ke dalam golongan ini?
Berlawanan dengan dia
yang berdagu tinggi, ada lagi orang yang menilai dirinya terlalu rendah. Orang
yang seperti ini cenderung sulit untuk melihat berbagai sisi membanggakan dari
dirinya. Disaat orang lain memujinya dengan berbagai prestasi dan potensi yang
ia miliki, ia akan jadi orang pertama yang mengatakan bahwa ia adalah seseorang
yang gagal, tidak punya prestasi, dan karena itu tidak pantas mendapatkan
pujian. Sangat sulit bagi seseorang dengan karakteristik “kepala tertunduk”
untuk menyelamati dirinya sendiri atas pencapaiannya. Nah, apakah kita termasuk golongan
yang ini?
Memperhatikan gambaran
diatas, munculah pertanyaan:
“Apa yang membuat kedua orang ini begitu berbeda? Apa yang sebenarnya
mempengaruhi seseorang dalam memandang dirinya sendiri?”
Nielsen
(2002) mengatakan bahwa cara seseorang memandang
dirinya sangatlah berkaitan dengan rasa cinta dan penerimaan yang dimilikinya.
Seseorang yang merasa bahwa dirinya dicintai dan diterima oleh lingkungan
sekitarnya akan tumbuh menjadi seorang pribadi yang merasa nyaman dengan
dirinya apa adanya. Orang seperti ini, tidak menuntut pengakuan dan
penghormatan dari orang lain karena ia sendiri sudah mengakui dan menghormati
dirinya sendiri. Orang seperti ini pun tidak akan selalu tertunduk malu dan
merasa dirinya tidak bermakna, karena ia menyadari betapa banyak potensi dirinya
dan begitu berharganya dirinya.
Carl Rogers, ahli aliran
psikologi Humanistik, mengatakan bahwa manusia belajar mencintai dan menerima
diri semenjak ia masih kecil. Pelajaran seperti ini tidak akan didapatkan di
bangku sekolah, melainkan langsung diajarkan oleh orang terdekat anak. Orangtua
lah yang berperan untuk mengajarkan cara mencintai dan menerima tanpa syarat (Unconditional Positive Regard) kepada
anaknya.
“Bagaimana mengajari seorang
anak kecil hal seabstrak cinta dan penerimaan?”
Pada abad 17, John Locke
memperkenalkan “Teori
Tabularasa”, yang
berpendapat bahwa saat lahir manusia tak ubahnya seperti kertas kosong. Bila
orang-orang di sekitar dan pengalaman keseharian diibaratkan sebagai spidol
berwarna-warni, maka inilah yang akan menjadi warna di kertas putih kosong
tersebut. Jika orangtua dan lingkungan di sekitar anak menunjukkan rasa cinta,
perhatian, dan menerima anak dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saat
itulah anak merasakan cinta dan penerimaan. Tidak perlu berpuluh-puluh lembar
materi untuk mengajari anak, cukup tunjukkan saja rasa cinta dan penerimaan
padanya.
Pernah dengar sebuah kutipan
“anak kecil adalah seorang peniru yang ulung”? Ya, mereka belajar dengan
memperhatikan lalu meniru perilaku orang di sekitarnya. Jika sejak kecil,
orangtuanya jarang memeluk, jarang mengucapkan kata sayang, menelantarkannya,
jarang bermanis kata dengan anak, banyak memarahi dan mengkritik, serta tidak
menunjukkan kebanggaannya atas prestasi anaknya, besar kemungkinannya ia akan
memperlakukan orang lain dengan perilaku yang seperti itu pula. Jika dilihat ke
dalam gambaran yang lebih luas lagi, inilah manifestasi dari minimnya rasa
cinta dan penerimaan yang dimilikinya.
Berdasarkan elaborasi di atas, menurut saya “Si Dagu
Tinggi” dan “Si Kepala Tertunduk” sama-sama tergolong dalam kelompok minim rasa
cinta dan penerimaan. Pada dasarnya mereka sama, yang membedakan hanyalah “Si
Dagu Tinggi” memiliki keberanian yang (jauh) lebih banyak dari “Si Kepala
Tertunduk” untuk berbicara dan mengekspresikan ke-’AKU’-annya.
Setiap manusia pasti
membutuhkan rasa cinta dan penerimaan. Bagi mereka yang tidak mendapatkannya
dari lingkungan terdekatnya, mereka akan mencarinya dari lingkungannya yang
lain, mencari dan terus mencari sampai dapat.
Pada satu titik, mereka akan menyadari betapa sulitnya untuk
mendapatkannya. Kalaupun ada yang berhasil, mereka pasti ingin yang lebih dan
lebih lagi. Mengapa? Karena sebanyak apapun rasa cinta dan penerimaan yang
orang lain berikan, bila ia belum mampu mencintai dan menerima dirinya sendiri,
semua akan terasa kurang. Intinya, hanya dirinya sendirilah yang mampu
melengkapi dirinya.
Stop expecting others to show you love,
acceptance, commitment, and respect, when you don’t even show that to yourself.
–Steve Maraboli-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar