Tentang Kami

13 Juli 2014

Cerita Dibalik Tingginya Dagu dan Tertunduknya Kepala



Oleh: Wahyu Nhira Utami, M.Psi., Psi. (Psikolog klinis, staf Badan Kepegawaian Daerah Prov. Kalimantan Timur)





Saya adalah .... (silahkan isi sendiri)


Banyak psikolog yang mengatakan, kata dan kalimat yang disematkan di belakang kalimat “Saya adalah ...” merupakan bagian yang penting dari keseluruhan kalimat. Apakah kita akan menuliskan sebuah deskripsi diri yang menyemangati atau mengecilkan hati, tulisan itu akan menjadi cerminan atas cara kita menilai diri sendiri. 

Menilai diri sendiri adalah sesuatu yang tricky. Seseorang bisa sangat mudah terjerumus pada penilaian yang sangat mengagung-agungkan kelebihan dirinya, menganggap dirinya mampu melakukan segalanya, jadi harus dihormati dan diperlakukan dengan spesial. Hal yang paling umum adalah adanya pemikiran bahwa dirinya yang paling hebat dan paling benar, sehingga seringkali menilai orang lain lebih rendah dari dirinya. Coba kita ingat, berapa banyak orang dengan karakteristik “dagu tinggi” yang ada di sekitar kita? Atau mungkin, kita pun termasuk ke dalam golongan ini? 

Berlawanan dengan dia yang berdagu tinggi, ada lagi orang yang menilai dirinya terlalu rendah. Orang yang seperti ini cenderung sulit untuk melihat berbagai sisi membanggakan dari dirinya. Disaat orang lain memujinya dengan berbagai prestasi dan potensi yang ia miliki, ia akan jadi orang pertama yang mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang gagal, tidak punya prestasi, dan karena itu tidak pantas mendapatkan pujian. Sangat sulit bagi seseorang dengan karakteristik “kepala tertunduk” untuk menyelamati dirinya sendiri atas pencapaiannya. Nah, apakah kita termasuk golongan yang ini?
Memperhatikan gambaran diatas, munculah pertanyaan:

 Apa yang membuat kedua orang ini begitu berbeda? Apa yang sebenarnya mempengaruhi seseorang dalam memandang dirinya sendiri?” 

Nielsen (2002) mengatakan bahwa cara seseorang memandang dirinya sangatlah berkaitan dengan rasa cinta dan penerimaan yang dimilikinya. Seseorang yang merasa bahwa dirinya dicintai dan diterima oleh lingkungan sekitarnya akan tumbuh menjadi seorang pribadi yang merasa nyaman dengan dirinya apa adanya. Orang seperti ini, tidak menuntut pengakuan dan penghormatan dari orang lain karena ia sendiri sudah mengakui dan menghormati dirinya sendiri. Orang seperti ini pun tidak akan selalu tertunduk malu dan merasa dirinya tidak bermakna, karena ia menyadari betapa banyak potensi dirinya dan begitu berharganya dirinya. 

Carl Rogers, ahli aliran psikologi Humanistik, mengatakan bahwa manusia belajar mencintai dan menerima diri semenjak ia masih kecil. Pelajaran seperti ini tidak akan didapatkan di bangku sekolah, melainkan langsung diajarkan oleh orang terdekat anak. Orangtua lah yang berperan untuk mengajarkan cara mencintai dan menerima tanpa syarat (Unconditional Positive Regard) kepada anaknya. 

“Bagaimana mengajari seorang anak kecil hal seabstrak cinta dan penerimaan?” 

Pada abad 17, John Locke memperkenalkan Teori Tabularasa, yang berpendapat bahwa saat lahir manusia tak ubahnya seperti kertas kosong. Bila orang-orang di sekitar dan pengalaman keseharian diibaratkan sebagai spidol berwarna-warni, maka inilah yang akan menjadi warna di kertas putih kosong tersebut. Jika orangtua dan lingkungan di sekitar anak menunjukkan rasa cinta, perhatian, dan menerima anak dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saat itulah anak merasakan cinta dan penerimaan. Tidak perlu berpuluh-puluh lembar materi untuk mengajari anak, cukup tunjukkan saja rasa cinta dan penerimaan padanya. 

Pernah dengar sebuah kutipan “anak kecil adalah seorang peniru yang ulung”? Ya, mereka belajar dengan memperhatikan lalu meniru perilaku orang di sekitarnya. Jika sejak kecil, orangtuanya jarang memeluk, jarang mengucapkan kata sayang, menelantarkannya, jarang bermanis kata dengan anak, banyak memarahi dan mengkritik, serta tidak menunjukkan kebanggaannya atas prestasi anaknya, besar kemungkinannya ia akan memperlakukan orang lain dengan perilaku yang seperti itu pula. Jika dilihat ke dalam gambaran yang lebih luas lagi, inilah manifestasi dari minimnya rasa cinta dan penerimaan yang dimilikinya. 

Berdasarkan elaborasi di atas, menurut saya “Si Dagu Tinggi” dan “Si Kepala Tertunduk” sama-sama tergolong dalam kelompok minim rasa cinta dan penerimaan. Pada dasarnya mereka sama, yang membedakan hanyalah “Si Dagu Tinggi” memiliki keberanian yang (jauh) lebih banyak dari “Si Kepala Tertunduk” untuk berbicara dan mengekspresikan ke-’AKU’-annya. 

Setiap manusia pasti membutuhkan rasa cinta dan penerimaan. Bagi mereka yang tidak mendapatkannya dari lingkungan terdekatnya, mereka akan mencarinya dari lingkungannya yang lain, mencari dan terus mencari sampai dapat.  Pada satu titik, mereka akan menyadari betapa sulitnya untuk mendapatkannya. Kalaupun ada yang berhasil, mereka pasti ingin yang lebih dan lebih lagi. Mengapa? Karena sebanyak apapun rasa cinta dan penerimaan yang orang lain berikan, bila ia belum mampu mencintai dan menerima dirinya sendiri, semua akan terasa kurang. Intinya, hanya dirinya sendirilah yang mampu melengkapi dirinya. 

Stop expecting others to show you love, acceptance, commitment, and respect, when you don’t even show that to yourself.
            –Steve Maraboli-
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar