Oleh Novita, M. Psi,
Psikolog
![]() |
Sumber : Kaskus.co.id |
Belum lama ini, sebuah postingan
di akun Facebook milik Muhammad Erfas Maulana menjadi topik hangat yang
dibicarakan. Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Diponegoro tersebut
mempertanyakan perbedaan jawaban dari materi perkalian sekolah dasar antara
dirinya dan guru dari adiknya. “Heboh 4x6 atau 6x4”, demikian salah
satu portal berita nasional menyebut dampak yang muncul atas postingan tersebut1.
Berbagai pihak pun ikut bereaksi.
Ada yang sepemahaman dengan Erfas, bahwa sebaiknya pendidik mempersilakan murid
untuk menemukan sendiri cara memecahkan soal meskipun berbeda dengan cara yang
dipakai oleh gurunya. Memberikan kebebasan pada murid dipercaya akan mendukung
perkembangan kreativitasnya. Ada yang mencoba meluruskan dengan menjabarkan
teori dan falsafah matematika, bahwa konsep axb
tidak sama dengan bxa secara
matematis. Berdasar penjelasan teori tersebut maka tindakan guru sudah tepat,
ada konsep yang ingin ditanamkan. Melencengkan konsep matematika ini, akan
menggiring murid untuk lebih mementingkan hasil daripada proses.
Jadi, mana yang benar? Sama atau
tidak antara 4x6 dan 6x4?
Jika ditinjau dari penggunaannya
dalam operasi matematika, kedua konsep tersebut ada dan dipakai.
Perkalian dikenal memiliki sifat komutatif, yaitu axb sama dengan bxa.
Sifat komutatif tersebut banyak dipergunaan untuk memecahkan operasi bilangan
dari soal-soal matematika. Sedangkan konsep axb
tidak sama dengan b x a, salah
satu penggunaannya adalah pada mata pelajaran matrix2.
Perdebatan tentang mana yang
lebih benar, sesungguhnya tidak perlu dilanjutkan. Karena dua pernyataan
tersebut sama-sama mengandung kebenaran. Pertanyaan yang penting untuk dijawab
adalah: kapan waktu yang tepat untuk mengajarkan kedua konsep matematika
tersebut pada anak?
Piaget mengungkapkan bahwa ada
empat tahap perkembangan kognitif yang dilalui individu3:
- Tahap sensori motorik (0-2 tahun). Pada tahap ini inteligensi anak berkembang lewat eksplorasi sensori motorik. Anak mengembangkan pengetahuan berdasarkan interaksinya secara fisik dengan lingkungan. Mobilitas fisik memberikan kesempatan untuk anak mengembangkan kemampuan intelektual baru.
- Tahap pra-operasional (2-7 tahun). Pada tahap ini kemampuan bahasa lebih matang, mulai berpikir simbolis (lewat gambar, kata, dll), tetapi masih egosentris.
- Tahap operasional konkrit (7-11 tahun). Pada tahap ini kemampuan berpikir logis dan simbolis sudah lebih berkembang, tetapi masih seputar hal yang konkrit.
- Tahap operasional formal (12 tahun ke atas). Pada tahap ini individu dapat berpikir simbolis yang tidak sebatas hal konkrit, tetapi sudah dapat berpikir mengenai konsep abstrak.
Penjelasan
Piaget tersebut dapat membantu kita untuk menentukan stimulasi yang tepat untuk
mendukung optimalisasi perkembangan kognitif anak. Pada konteks dunia
pendidikan, materi ajar yang hendak
diberikan dapat disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif anak.
Sebagai
contoh, pada saat anak masih pada tahap sensori motorik maka stimulasi yang
tepat untuk diberikan adalah berbagai macam kegiatan fisik dan pengenalan
terhadap objek-objek yang ada di lingkungan. Ketika anak mulai memasuki tahap
pra-operasional, kemampuan bahasanya dapat lebih diasah. Anak juga dapat
dikenalkan dengan kata dan gambar sebagai simbol dari suatu benda.
Memasuki
tahap operasional konkrit, berbagai macam pengalaman seperti outing, eksperimen sederhana, dan
penggunaan barang-barang di rumah sebagai alat bantu ajar dapat digunakan untuk
menjelaskan suatu konsep kepada anak. Pada tahap ini pengalaman konkrit akan
memperkaya pengalaman dan pengetahuan anak. Begitu memasuki tahap operasional
formal, anak sudah dapat diajak untuk berpikir tentang hal yang abstrak
sehingga sudah mulai dapat menelaah materi berupa konseptual.
Orang
tua dan guru dianjurkan untuk memberikan stimulasi supaya dapat mengasah
kemampuan kognitif anak. Stimulasi yang tepat adalah yang sesuai dengan
karakteristik kemampuan berpikir pada tiap tahap. Jangan memberikan tuntutan
atau memaksa anak dengan stimulasi yang terlalu jauh dari kemampuannya pada
saat ini. Sebagai contoh, memaksa anak yang masih pada tahap sensori motorik
untuk menguasai kemampuan berhitung merupakan hal yang tidak tepat karena anak
belum mampu berpikir simbolis.
Dengan
demikian, jika kita kaitkan penjelasan Piaget dengan konsep perkalian yang
menimbulkan polemik tersebut, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah : dalam
mengajarkan suatu materi konseptual pada anak didik yang terpenting adalah waktu yang tepat untuk mengajarkannya.
Kita tidak dapat memaksakan anak sekolah dasar untuk mempelajari materi untuk
sekolah menengah atas atau perkuliahan.
Menuntut
anak untuk menguasai kemampuan yang belum dicapainya, merupakan hal yang
kontraproduktif dari tujuan pendidikan itu sendiri. Menurut Piaget, tujuan dari
pendidikan adalah membantu individu agar mampu melakukan sesuatu yang baru,
tidak hanya mengulangi hal yang pernah dilakukan generasi sebelumnya, menjadi
individu yang kreatif, penggagas, dan penemu.
Anak akan mendapatkan pemahaman yang tepat tentang suatu hal, jika anak menemukan
sendiri cara untuk memahaminya. Mengajarkan sesuatu terlalu cepat dari
kemampuan anak, hanya akan menghambat anak untuk menemukan pemahaman tersebut
dengan caranya sendiri 4.
Dari penjelasan
Piaget tersebut, kita bisa mengandaikan bahwa setiap anak pada hakikatnya adalah
seorang ilmuwan. Anak dapat menemukan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
dengan cara mereka yang unik dan kreatif. Mari kita coba melihat persoalan perbedaan
pandangan pengajaran sub pelajaran matematika ini dengan lebih netral. Tidak dengan
memojokkan pihak yang berseberangan pendapat. Polemik 4x6 atau 6x4 ini
memberikan kesempatan bagi kita untuk merefleksikan kembali, hakikat dari
tujuan pendidikan yang ingin dicapai di Indonesia dan bagaimana cara untuk
mencapainya. Semoga menjadi bahan renungan dan evaluasi bagi stakeholder, para pendidik, orang tua,
dan masyarakat agar pendidikan Indonesia lebih baik.
Referensi
1 Isnaeni, N. (2014). Heboh 4x6 atau 6x4. Diakses dari www.m.liputan6.com/news/read/2109404/heboh-4x6-atau-6x4
2 Anonim. (2013). Medan
(Matematika). Diakses dari www.id.m.wikipedia.org/wiki/Medan_(matematika)
3 Hutt, W. & Hummel, J.
(2003). Piaget’s Theory of Cognitive Development. Educational Psychology Interactive. Diakses dari www.edpsycinteractive.org/topics/piaget.html
4 Cherry, K. Jean Piaget Quotes. Diakses dari www.psychology.about.com/od/early-child-development/a/jean-piaget-quotes.htm
Tulisan ini telah dimuat dalam Buletin Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BPPK) Jakarta,
Edisi I/Juli-September, 2014