Novita, M. Psi, Psikolog
(Anggota dari Organisasi Penggiat Kesehatan
Mental di Indonesia “Psikologi Beraksi”)
![]() |
sumber : peduliberbagi.wordpress.com |
Emosi sering diidentikkan dengan rasa marah atau
jengkel. Tidak jarang kita dengar kata emosi digunakan untuk mengungkapkan rasa
marah, misalnya “nyebelin banget deh,
bikin emosi aja!!!”. Padahal emosi memiliki cakupan makna yang lebih luas
dari marah. Berbagai jenis emosi yang dirasakan manusia, dapat dimasukkan ke dalam
dua kelompok besar yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif
meliputi bahagia, senang, bangga, lega, dll. Contoh emosi negatif adalah marah,
kesal, jengkel, sedih, menyesal, dendam, dll.
Emosi adalah kondisi yang melibatkan perubahan
pengalaman, perilaku, dan fisiologis individu. Selain mampu memunculkan reaksi
pada fisik manusia, emosi juga dapat mempengaruhi pikiran dan perilaku. Emosi yang
dirasakan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang untuk melakukan
suatu tindakan 1, sehingga keterampilan mengelola emosi sangat
penting dimiliki agar menjadi bijak dalam memilih dan berperilaku.
Mengembangkan keterampilan mengelola emosi dapat
dimulai sejak kecil. Keterampilan mengelola emosi dapat diajarkan sejak dini,
yaitu disesuaikan dengan kemampuan dan tahap perkembangan anak. Anak yang
memahami dan belajar mengenai emosinya mendapatkan manfaat, diantaranya2,
3:
·
dapat membentuk hubungan pertemanan yang positif dan kuat dengan
temannya;
·
dapat menenangkan diri lebih cepat saat marah;
·
interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih baik;
·
dapat lebih kuat proses pembelajarannya; dan
·
dapat mengikuti pelajaran dan kegiatan sekolah dengan lebih baik.
Meninjau kemanfaatan yang dapat diperoleh anak,
orang tua dianjurkan memberikan prioritas untuk mengajarkan keterampilan
mengelola emosi pada anak. Prioritas yang sama besarnya dengan mengajarkan
keterampilan penting lain seperti membaca, menulis, berhitung, menabung, sopan
santun, dll.
Keterampilan mengenali emosi
merupakan keterampilan awal dalam mengelola emosi. Keterampilan mengenali emosi
adalah kemampuan untuk memahami emosi secara jelas sehingga dapat memberikan
label/nama pada emosi tersebut. Individu yang memiliki keterampilan yang rendah
dalam mengenali emosi juga memiliki kesulitan untuk mengelola emosi negatif
sehingga cenderung mengalami masalah sosial dan emosi yang lebih tinggi 4.
Sebagai langkah awal, orang tua
harus menyadari emosi yang dirasakan oleh dirinya sendiri dan anak. Orang tua harus mampu memperhatikan
dan memahami emosi yang sedang dirasakannya. Dengan menyadari emosi yang
dirasakan oleh diri sendri, orang tua dapat memahami pengaruh emosi yang
dirasakannya tersebut pada caranya berinteraksi dengan anak. Orang tua juga
dapat menjadi lebih peka terhadap emosi yang dirasakan oleh anak.
Orang tua dapat memberi contoh dengan mengungkapkan
dan menamakan emosi yang sedang dirasakan orang tua. Misalnya dengan
mengatakan pada anak “Ayah/Ibu senang deh
kalau kakak makannya dihabiskan” atau “Ayah/Ibu
sedih kalau adik tidak mau berbagi mainan dengan teman”. Menyatakan emosi
ke dalam kata-kata (labeling)
memiliki fungsi untuk memaknai ulang emosi
yang dirasakan sehingga dapat mengalihkan dari tindakan emosional dan memberikan
rasa bahwa diri dapat mengontrol kondisi yang sedang dihadapi3.
Selanjutnya, orang tua dapat mengamati
dan mendengarkan cara anak mengekspresikan berbagai macam emosinya. Bagaimana
ekspresi muka, gerakan tubuh, dan kebiasaan anak ketika sedang merasakan emosi
tertentu. Meskipun sulit ketika menghadapi anak yang sedang merasakan emosi
negatif seperti marah atau sedih, cobalah untuk tidak menghindari atau
mengalihkan anak dari perasaannya. Anggap bahwa peristiwa tersebut sebagai
kesempatan untuk mengajarkan anak tentang emosi. Tunjukkan bahwa sebagai orang
tua, kita memahami dan tidak meremehkan emosi yang dirasakan anak. Orang
tua dapat membantu dengan mengungkapkan dan menamakan emosi yang sedang
dirasakan anak, misalnya “Adik marah
ya, Ayah melarang menonton televisi?”, “Kakak sedih ya,tidak dibolehkan main?” atau
“Kakak sepertinya senang sekali bisa
bermain dengan Ibu?”2.
Saat anak mengekspresikan emosi
mereka, orang tua sebaiknya menemani dan menetapkan batasan. Misalnya
boleh menangis, tapi tidak merusak barang atau membahayakan diri. Ketika anak
sudah tenang, orang tua dapat membimbing anak dengan menunjukkan
perilaku yang lebih positif. Contohnya “Bunda
tahu adik marah, tapi sekarang hujan deras. Bunda takut kalau kelamaan di luar
jadi sakit deh. Kita main di dalam aja ya”.
Untuk anak yang sudah mampu
untuk diajak berdiskusi, orang tua dapat meminta anak menceritakan pengalaman
emosinya dan mencari alternatif solusi bersama-sama. Orang tua yang memahami
emosi anak dan memberikan pujian atas perilaku positifnya, dapat mendukung
perkembangan emosi yang sehat bagi anak. Mari, kita beri contoh dan ajarkan
tentang emosi pada anak. Apa yang sedang
Anda rasakan hari ini?
Referensi
1 Bosse, T., Pontier,
M., & Treur, J. 2007. A Computational
Model based on Gross Emotion Regulation Theory. Amsterdam: Department of
Artificial Intelligence De Boelelaan.
2 Parenting Count. 2014. Five Steps of Emotion Coaching. Diakses
dari www.parentingcounts.org/information/timeline/five-steps-of-emotion-coaching
3 Greenberg,
L. S. (2003). Emotion-Focused Therapy.
Washington: American
Psychological Association.
4 Ciarrochi, J., Heaven, P.C.L., & Supavadeeprasit, S. 2008. The Link
between Emotion Identification Skills and Socio-Emotional Functioning in Early
Adolescence: A 1-Year Longitudinal Study. Journal
of Adolescence. Vol 31. p 565–582.
Tulisan ini telah dimuat dalam Buletin
Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BPPK) Jakarta, Edisi III/Oktober-Desember, 2014