(Psikolog Klinis Penggiat gerakan #ActNow. “Karena Peduli Adalah Bertindak”)
(sumber : selasar.com) |
Di era teknologi sekarang, dapat dipastikan hampir semua orang terbiasa
berselancar di dunia maya. Baik untuk mencari informasi ataupun mengekspresikan
diri.
Bentuk ekspresi diri dalam dunia maya bisa tampil dalam bentuk eksis di
berbagai media sosial ataupun menyampaikan pendapat atau kritik dalam berbagai
situs yang menyediakan kolom opini atau komentar.
Biasanya dalam media sosial ataupun ingin memberikan komentar dalam berbagai
situs, kita akan diminta untuk mendaftar terlebih dahulu yang meminta kita
memberikan data-data pribadi, seperti nama, tanggal lahir, tempat tinggal, dan
mengunggah foto diri.
Dalam dunia maya, seringkali tidak dilakukan kroscek akan info-info yang
kita berikan untuk mendaftar. Tidak masalah bila kita menggunakan foto palsu,
data diri palsu, bahkan nama palsu. Bahkan pada beberapa situs, tidak masalah
bila kita menampilkan diri sebagai anonim.
Mari kita coba amati bagaimana komentar yang diberikan oleh orang-orang yang
memberikan identitas asli dengan identitas “aspal” atau bahkan malah anonim.
Orang-orang yang menggunakan identitas “aspal” atau bahkan anonim, biasanya
cenderung berkomentar lebih kejam dan bertujuan untuk menghina, dibandingkan
orang-orang yang menggunakan identitas asli.
Tahukah Anda bahwa komentar-komentar tersebut termasuk dalam bashing (melecehkan,
menghina; dengan intensi menyakiti) dan dapat dikategorikan sebagai bullying?
Banyak orang yang pernah mendengar kata bullying, yang bila
diartikan dalam bahasa Indonesia dapat berarti penggencetan, penindasan, atau
intimidasi.
Terdapat empat unsur yang terkandung dalam bullying, yaitu (1)
ketidakseimbangan kekuatan, (2) adanya keinginan untuk melukai, (3) repetitif,
dan (4) penggunaan teror.
Berdasarkan keempat unsur tersebut, dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan
tindakan menebar teror dan intimidasi yang dilakukan berulang kali (repetitif)
dengan adanya intensi untuk menyakiti pihak lawan yang dianggap lebih lemah. Teror
dalam bullying dapat berbentuk ancaman atau melukai secara fisik,
kata-kata yang melecehkan, menebar rumor, atau pengucilan.
Bullying dapat terjadi di segala tempat. Di rumah, di sekolah, di
tempat kerja, bahkan sekarang dalam dunia maya. Kemajuan teknologi yang sangat
pesat menjadi lahan subur bagi para pelaku untuk melakukan cyber-bullying.
Cyber-bullying merupakan bentuk bully yang lebih parah
dibandingkan yang terjadi di dunia nyata, karena dapat menjangkau siapapun
(banyak sekali selebritis, politikus, dan orang-orang terkenal yang menjadi
korban cyber-bully), dapat diakses kapan pun (lewat handphone, laptop,
ataupun gadget lain), serta kejamnya para “anonim”.
Anonimitas merupakan suatu pisau bermata dua. Aspek positifnya adalah
memberikan wadah untuk berekspresi secara bebas dan memunculkan sikap yang
sebenarnya.
Sebagai contoh, mari kita coba ingat-ingat kembali saat kita diminta mengisi
suatu angket. Misalnya angket tentang performa dosen yang tidak kita sukai.
Bila kita diminta mencantumkan nama di angket tersebut, skor yang kita berikan
akan cenderung normatif dan di kolom isian, kita biasanya mengosongkannya.
Terdapat kekhawatiran bahwa bila kita mengisi secara jujur, dosen tersebut
akan mengurangi nilai kita. Bila kita mengisi secara anonim, kita cenderung
mengisi lebih bebas karena tidak merasa khawatir.
Anonimitas pun memberikan sarana bagi orang-orang yang memiliki kesulitan
untuk mengekspresikan emosinya karena takut merasa dihakimi, serta meningkatkan
kepercayaan diri bagi orang-orang yang memiliki masalah agar dapat curhat tanpa
takut akan diketahui kemudian disebarluaskan.
Oleh karena itu, anonimitas merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin
kerahasiaan dan keamanan kelompok rentan yang butuh sharing, seperti
korban pelecehan, kekerasan, atau orang-orang yang mengalami gangguan
psikologis.
Di lain pihak, anonimitas pun memiliki aspek negatif. Semakin anonim
seseorang, akan semakin tinggi tingkat agresivitasnya. Bila identitas individu
semakin “kabur”, maka dia akan merasa tidak bertanggungjawab atas tindakan yang
dilakukannya karena merasa tidak akan ketahuan oleh orang lain sehingga tidak
mungkin dirujuk kembali padanya.
Seorang bully di dunia maya dapat melenggang kangkung tanpa merasa
bersalah walaupun sudah menuliskan komentar-komentar sadis karena merasa tidak
akan mungkin dituntut ataupun dijadikan korban bullying berikutnya
atas kata-kata yang telah dituliskan. Serta adanya anggapan, “toh semua
orang melakukannya”.
Pernahkah di antara kita menuliskan sesuatu yang kejam di kolom komentar di
situs opini atau media sosial? Menyebarkan berita HOAX? Membuat meme yang
menyindir? Mengunggah video yang menjelek-jelekkan? Bagaimana perasaan kita
setelah itu? Mungkin kita berpikir bahwa tindakan tersebut “hanya angin lalu”
dan tidak berarti apa-apa. Iseng, buat seru-seruan, atau alasan
yang lain.
Atau bahkan ada yang merasa senang bila komentar kejam tersebut ditanggapi
oleh orang lain yang setuju dengan opini kita, lalu menambahkan komentar yang
lebih kejam, dan terjadinya rentetan komentar-komentar yang melecehkan nan
menghina salah satu pihak dalam media tersebut? Mungkin bagi kita, itu bukanlah
hal besar. Mungkin ada yang merasa itu hanya keisengan semata yang tidak
mungkin dianggap serius oleh orang lain. Mungkin ada yang setelah log out, tidak
ingat lagi aktivitas yang telah kita lakukan di dunia maya.
Bagi kita, mungkin itu hanyalah keisengan atau seru-seruan belaka, walaupun
ada yang memang berniat untuk menjatuhkan pihak lawan, tapi patut diingat bahwa
itu dapat menimbulkan luka pada orang lain.
Hampir semua orang mengetahui dampak bullying. Rasa malu, depresi,
hingga dapat memicu tindak bunuh diri umum dialami para korban bully. Kita
semua mengetahui dan menentang bullying yang terjadi di dunia nyata,
namun di dunia maya, kita dapat berubah menjadi seorang yang mendukung bullying.
Oleh karena itu, sebagai manusia yang memiliki akal budi, mari kita gunakan
“kekuatan” dunia maya secara bijak. Gunakan selalu identitas asli dalam tiap
akun sosial media atau portal opini. Jangan sampai kita menjadi seorang yang
tak bernama, tak berwajah, dan tak berhati di dunia nyata.
Sebelum memposting, mengunggah, atau menyebarkan apapun secara viral,
cermati baik-baik apakah produk tersebut berpotensi menimbulkan luka pada orang
lain. Bila ada hal yang membuat Anda tidak suka dan ingin berkomentar pedas,
sebelum menekan tombol enter atau submit, baca kembali
komentar tersebut dan bayangkan orang lain mengatakan hal tersebut pada Anda.
Bila Anda merasa tersinggung, jangan mempostingnya.
"Cyberbullying is Bullying. Hiding behind a pretty screen, doesn’t
make it less hateful, written words have power"
(Demi Lovato, penyanyi, korban cyber-bullying).
*tulisan ini dimuat juga dalam https://www.selasar.com/budaya/bullying-di-era-cyber-tak-berwajah-tak-berhati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar