(oleh Mardiana Hayati Solehah, M.Psi., Psi.)
(sumber : antarafoto) |
Sebentar lagi masyarakat Indonesia akan menyambut ajang pemilihan calon presiden (pilpres) yang menentukan nasib bangsa Indonesia selama lima tahun ke depan. Dari dua calon tersebut, sebagian orang telah menentukan pilihan masing-masing, sebagian yang lain belum memutuskan. Kelompok yang telah menentukan pilihan ini seringkali memberikan informasi dalam berbagai media mengenai keunggulan pilihannya serta kelemahan pihak lawan. Informasi-informasi tersebut ada yang bersifat objektif, tetapi ada juga yang sangat subjektif, bahkan dapat dikatakan fanatik.
Perilaku fanatik terhadap calon presiden dan wakil presiden saat ini terkadang
justru menjadi nilai negatif dalam keberlangsungan pemilu presiden. Mereka yang
fanatik lah yang memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak black campaign atau
negative campaign. Di satu sisi, mereka selalu beranggapan bahwa calon
mereka adalah paling benar dan tidak memiliki sisi buruk sedikitpun.
Apa itu fanatisme? Fanatisme berasal dari bahasa Latin “fanaticus” (ekstasi,
antusiasme, menggebu-gebu), “fanum” (tempat suci, kuil, tempat
pemujaan), dan “fano” (pengabdian). Berdasarkan terminologi, fanatisme
dapat diartikan sebagai pengabdian pada tempat suci atau kuil secara antusias
dan menggebu-gebu. Para pakar psikologi kemudian merumuskan kembali definisi
fanatisme, yaitu usaha untuk mengejar atau mempertahankan sesuatu dengan
cara-cara yang ekstrem dan penuh hasrat, melebihi batas kewajaran.
Menyukai sesuatu merupakan hal yang manusiawi. Manusia dapat memiliki tokoh
idola, menyukai suatu benda, atau setia pada merk tertentu. Bila kita menyukai
dan setia pada suatu hal tertentu, maka kita dapat dikatakan sebagai “fans”.
Akan tetapi, saat rasa suka tersebut berlebihan, maka berubah menjadi
“fanatik”. Sebagai contoh, misalkan Anto menyukai Justin Bieber. Rasa suka
tersebut mendorong Anto untuk senantiasa mendengarkan lagu-lagu Bieber dan
mengoleksi semua CD-nya. Perilaku Anto dapat disebut sebagai perilaku fan. Di
lain pihak, Amir juga menyukai Justin Bieber. Besarnya rasa suka kepada Bieber,
membawa Amir sampai rela merogoh kocek dalam-dalam untuk menyemir rambutnya
hingga pirang, bahkan bertindak lebih jauh lagi dengan melakukan operasi
plastik agar dapat mirip dengan idolanya. Perilaku Amir sudah dapat dikatakan
fanatik. Seorang fan biasanya meniru gaya berpakaian atau bicara atau kebiasaan
khas idolanya, tetapi seorang fanatik akan mengubah dirinya menjadi idolanya
tersebut plek-plekan.
Jenderal besar Napoleon Bonaparte pernah berkata, “there’s no place in
fanatic’s head where reasons can enter” (tidak ada tempat sedikit pun
tempat dalam kepala orang yang fanatik untuk menerima alasan). Benar adanya yang
dikatakan oleh Napoleon. Seorang fanatik memiliki pola pikir satu arah, kaku,
memegang teguh keyakinan mereka secara absolut, serta mengerahkan energi mereka
untuk membutikan keyakinan mereka adalah benar. Oleh karena itu, seorang yang
fanatik sangat rentan terhadap kritik. Menurut mereka, kritik yang ditujukan
merupakan cara-cara licik untuk menghancurkan mereka. Selain itu, terjadi selective
attention pada mereka, yaitu hanya memusatkan perhatian pada hal-hal yang
mendukung kecintaan mereka dan hal-hal yang dapat menjatuhkan lawan mereka.
Mereka tidak akan mempedulikan argument, fakta, atau informasi apapun yang
menjelek-jelekkan idola mereka dan membantah setiap informasi berisi keunggulan
lawan.
Dalam fanatisme, seringkali terjadi bias yang menyebabkan standar ganda.
Standar ganda terjadi bila satu hal yang sama terjadi pada dua pihak namun
menimbulkan respons yang berbeda. Misalnya Pak Budi mendukung calon lurah ABC
yang sedang berkompetisi dengan calon lurah DEF. Suatu hari beredar info bahwa
calon ABC terlibat tindak korupsi. Mendengar kabar tersebut, Pak Budi langsung
menyangkal kebenarannya (“ah, Pak ABC kan baik dan jujur. Itu pasti fitnah!
Atau anak buahnya yang korupsi tapi sebagai pemimpin yang cakap, dia yang
akhirnya rela menerima dampaknya. Saya yakin ini pasti akal-akalan tim sukses
Pak DEF”). Sedangkan bila Pak DEF yang terkena tuduhan terlibat tindak
korupsi tersebut, Pak Budi akan langsung membenarkannya (“memang dia itu
tidak jujur! Baru mau mencalonkan saja sudah korupsi, bagaimana nanti bila
sudah terpilih! Mau jadi apa desa ini dipimpin oleh orang yang tidak amanah
seperti itu!”). Bila kita perhatikan ilustrasi tersebut, kedua calon
sama-sama terkena tuduhan tindak korupsi namun mendapatkan respons yang
berbeda. Seorang fan akan mencari tahu terlebih dahulu berbagai sumber
informasi yang terpercaya untuk mengklarifikasi tuduhan tersebut, sedangkan
seorang fanatik akan menerapkan standar ganda dalam memberikan penilaian.
Bagi seorang fanatik, idolanya tersebut merupakan sosok dewa, orang suci,
atau tokoh paling ideal yang harus dijunjung setinggi-tingginya. Dikarenakan
hebatnya gambaran sang idola, para fanatik menganggap idolanya tidak mungkin
berbuat kesalahan. Oleh karena itu, pada beberapa kasus fanatisme, sang idola
diancam, dilukai, bahkan dibunuh oleh pelaku fanatik yang merasa kecewa karena
sang idola tidak sesuai dengan gambaran idealnya.
Fanatisme erat pula kaitannya dengan agresivitas dan tingginya tindak
kekerasan. Psikolog Albert Ellis menyatakan bahwa seorang yang fanatik meyakini
bahwa keyakinan mereka merupakan kebenaran utama dan pandangan serta opini
lawan merupakan hal yang mengganggu ketentraman hidup sehingga harus dihentikan
dengan cara apapun. Seorang fan akan mempromosikan idolanya pada orang lain dan
merasa kesal bila orang tersebut tidak turut menyukai idolanya, namun tidak
akan sampai memutuskan hubungan. Sebaliknya, seorang fanatik akan memaksa orang
lain untuk menyukai idolanya dan murka bila orang lain tidak mengikuti pilihan
mereka, kemudian menjauhi temannya tersebut karena menganggapnya sebagai pihak
lawan, menghina bahkan hingga melukai. Dalam konteks pemilihan pilpres yang
sedang hangat-hangatnya ini, saya sering melihat komentar-komentar para fanatik
dalam berbagai portal berita yang isinya sangat kasar; hinaan, ancaman, bahkan
kutukan-kutukan bagi si penulis artikel maupun para pendukung yang sempat
berkomentar sebelumnya.
Akhir kata, saya ingin mengajak para pembaca untuk refleksi diri. Saya yakin
banyak di antara kita yang telah menetapkan pilihan pada salah satu calon dan
berusaha untuk mempromosikan calon pilihan tersebut dalam berbagai cara. Sudah
cukup banyak tautan yang saya dapatkan di media sosial mengenai kelebihan
maupun kekurangan dari masing-masing calon. Dari informasi yang sangat abal dan
membuat jengkel sampai informasi yang begitu detail juga mencerdaskan.
Tidak ada larangan untuk menyukai calon tertentu atau meramaikan timeline
sosial media dengan berbagai tautan, namun sadarilah apakah tindakan Anda
sudah dapat dikategorikan sebagai fanatisme? Jangan sampai perilaku “memuja”
kita menjadi berlebihan sehingga dapat menjadi bumerang bagi diri kita sendiri.
Fanatisme dapat membuat Anda menjadi seorang yang buta, tuli, tidak toleran,
dan bodoh, serta dapat menghilangkan tali silaturahmi yang telah terjalin
dengan baik. Menurut saya, tidak ada gunanya Anda ngotot mengorbankan
segala hal untuk membela seseorang yang tidak memikirkan Anda.
Mari menjadi pemilih bijak dengan membuka mata, telinga, hati, dan pikiran
seluas-luasnya!
*tulisan ini dimuat juga dalam https://www.selasar.com/budaya/tebalnya-selubung-fanatisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar