(oleh: Novita, M.Psi., Psi.)
(sumber: celebbabylaundry.com) |
Setiap
keluarga memiliki pilihan cara pengasuhan (parenting)
yang ingin diterapkan pada putra-putrinya. Orang tua dapat memilih cara parenting sesuai dengan nilai dan visi
yang dianut masing-masing keluarga. Secara garis besar terdapat beberapa jenis
pola pengasuhan yaitu authoritarian
parenting, authoritative parenting, permissive parenting, dan uninvolved parenting1.
Seiring
dengan perkembangan ilmu, literatur, dan pengalaman orang tua, berkembang juga konsep
dan gaya parenting yang lebih baru.
Konsep-konsep parenting tersebut
lahir antara lain berdasarkan falsafah yang dianut dan visi tentang karakter
anak yang ingin dibentuk. Beberapa contoh yang populer saat ini adalah konsep parenting yang digagas oleh Amy Chua atau
lebih dikenal dengan tiger mother2
dan compassionate parenting.
Berbeda
dari konsep tiger mother yang
merupakan perpaduan dari falsafah western
parenting dan chinese parenting, dasar
dari compassionate parenting adalah
kesadaran diri (mindfulness, kepedulian
diri) dan kasih sayang yang dimiliki orang tua.
Catatan
penting yang dapat kita ambil pelajaran dari compassionate parenting adalah penekanan hubungan antara orang tua dan anak, yaitu hubungan empatetik yang
penuh kasih sayang. Hubungan yang diikat oleh orang tua sejak awal kehidupan
anak, sangat berpengaruh pada emotional
intelligence dan karakter pada saat anak menjadi dewasa. Anak yang merasa
disayangi oleh orang tua merasakan perasaan aman. Rasa aman tersebut sangat
penting dalam menumbuhkan emosi yang sehat dan kepercayaan diri untuk
mengeksplorasi dunianya. Anak diharapkan menjadi individu yang mampu berpikir secara
mandiri, memahami emosinya, dan menentukan pilihan secara sehat3.
Hubungan
empatetik yang penuh kasih sayang dapat tercipta jika orang tua memahami
kebutuhan dan emosi anak sehingga dapat meresponnya secara tepat. Untuk dapat
memahami anak, fisik dan pikiran orang
tua harus hadir sepenuhnya saat
bersama dengan anak. Hadir secara penuh merupakan sebuah tantangan bagi keluarga
modern yang hidup di era digital saat ini.
Berbagai
jenis gadget dan akses internet yang
kian mudah didapatkan membuat orang tua juga semakin multitasking selama 24 jam sehari. Urusan pekerjaan dan sosialisasi
tidak hanya terbatas ketika orang tua berada di tempat kerja atau di luar
rumah. Orang tua tetap dapat memikirkan pekerjaan, mengontrol pekerjaan, atau keep in touch dengan rekan melalui
internet dan sosial media meski berada di rumah. Godaan yang sangat besar bagi
orang tua untuk terus memanfaatkan kemudahan tersebut. Tanpa sadar, fasilitas
yang mendekatkan kita dengan orang-orang yang di luar rumah justru menghalangi
orang tua untuk menghadirkan fisik, emosi, dan pikiran saat bersama dengan
anak. Orang tua tampak hadir secara fisik saat bersama anak, akan tetapi
terjadi keabsenan pikiran dan emosi.
Kutipan
dari pernyataan Coleman4 berikut ini menegaskan pentingnya kehadiran
orang tua saat bersama dengan anak:
“Anak belajar mengenai diri mereka sendiri dari cara kita
berkomunikasi dengan mereka. Komunikasi dengan anak 0-5 tahun didominasi dengan
cara non-verbal, jadi anak perlu melihat mata dan wajah kita. Mata dan wajah
kita merupakan cermin betapa berharganya mereka untuk mendapatkan perhatian,
cinta, dan kebahagiaan. Kehadiran kita membuat anak merasakan bahwa mereka
dilindungi dan dimengerti, yang membangun kepercayaan diri dan kepercayaan pada
lingkungannya....”
Coba
kita bayangkan, jika pola komunikasi dengan anak berkebalikan dengan yang
digambarkan oleh Coleman tersebut. Sibuk dengan gadget membuat mata dan wajah orang tua teralihkan dari mata dan
wajah anak. Mata orang tua justru terpaku menatap layar laptop, notebook, ipad, tab,
handphone, atau smartphone.
Dengan kondisi tersebut, anak belajar bahwa mereka kurang berharga dibandingkan
gadget bagi orang tuanya. Saat anak melihat
sekeliling atau mencari dukungan orang tua, yang ia ditemukan adalah orang tua
sedang memperhatikan gadget. Anak
tidak dapat menemukan perhatian dan cinta pada mata dan wajah orang tuanya. Anak
merasa bahwa ia tidak layak mendapatkan perhatian dan cinta orang tua.
Demikian
pula saat orang tua sedang sibuk melakukan suatu aktivitas fisik atau
memikirkan suatu permasalahan. Aktivitas fisik dan pikiran tersebut terkadang
membuat orang tua hanyut dalam kesibukan tersebut. Akibatnya, pada saat anak
memanggil ingin mengajak bicara atau menunjukkan sesuatu, pikiran orang tua
tidak terfokus pada anak. Padahal mimik muka dan bahasa tubuh anak dapat lebih
banyak cerita.
Saat kita hadir
sepenuhnya, 100% dari diri kita, maka kita bisa menjalin hubungan empatetik
dengan anak. Lewat mata dan wajah, kita bisa “terhubung” dengan anak. Lewat mata
dan wajah, kita bisa mengekspresikan cinta dan penghargaan pada anak. Lewat
mata dan wajah yang memandang anak, kita bisa belajar memahami emosi dan
kebutuhannya.
Setelah
kita mampu menghadirkan diri sepenuhnya untuk
anak, kita baru dapat mengaplikasikan secara efektif keterampilan-keterampilan yang
dibutuhkan dalam membangun hubungan empatetik dengan anak.
Keterampilan-keterampilan tersebut antara lain5:
- Mendengarkan. Kurangi porsi orang tua berbicara, tambah porsi mendengarkan anak.
- Bantu anak menemukan solusinya sendiri. Kurangi porsi dalam menjawab, bantu anak lewat pertanyaan yang membuat anak berpikir.
- Merespon emosi negatif anak.
- Merespon emosi positif anak. Bantu anak mengeskpresikan emosi mereka. Bantu anak belajar menamai, menyatakan, dan mengetahui penyebab emosi yang dirasakan.
- Ekspresikan kasih sayang pada anak dan anggota keluarga lain.
- Bermain bersama anak.
Setiap
orang tua memiliki hak dan penilaian masing-masing untuk memilih cara parenting yang paling sesuai dengan anak
dan keluarga mereka. Pelajaran yang dapat kita ambil dari prinsip compassionate
parenting yaitu pentingnya kehadiran
sepenuhnya dari diri kita pada saat berinteraksi dengan anak. Kehadiran dari fisik, pikiran, dan
emosi. Kehadiran tersebut merupakan tonggak dari hubungan yang mampu mempengaruhi
emotional intelligence dan karakter
anak. Terutama pada kedua orang tua yang bekerja, kehadiran ini sangat penting untuk menciptakan waktu yang
berkualitas dengan anak.
Mari
kita tinggalkan, barang maupun pikiran, saat sedang berinteraksi dengan anak
kita. Mari kita lihat wajah anak kita dengan mata dan wajah penuh dengan senyuman,
cinta, dan kegembiraan.
Referensi
1
Cherry, K. Parenting Style. Diunduh
dari www.psychology.about.com/od/developmentalpsychology/a/parenting-style.htm
2 Hanzky.
(2011). The Tiger Mom: What I Learned
From The Book. Diunduh dari www.mommiesdaily.com/2011/04/27/r-the-tiger-mom-what-i-learned-from-the-book/
3
Feiertag, L. & Barmon, A. Compassionate
Parenting. Diunduh dari www.bewellworld.com/article.cgi?id=Psychotheraapy_1963
4 Tartakovsky,
M. (2013). An Exercise in
Self-Compassionate Parenting. Diunduh dari www.psychcentral.com/blog.archives/2013/03/18/an-exercise-in-selff-compassionate-parenting/
5
Stosny, S. (2011). Compassionate
Parenting. Diunduh dari www.psychologytoday.com/blog/anger-in-the-age-entitlement/201102/compassionate-parenting
Tidak ada komentar:
Posting Komentar