Ima Santika Jayati, S.Psi.
(kandidat
psikolog klinis, pemerhati isu resolusi konflik) (sumber : examiner.com) |
Manusia dan Tuhan
adalah sepasang komponen yang tidak terpisahkan. Setiap ajaran agama hampir
selalu mengisahkan bagaimana manusia seharusnya hidup dalam keterhubungan
dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Keberadaan agama merupakan
suatu legitimasi atas keterikatan manusia dengan Tuhan. Dengan mengikrarkan
diri untuk memeluk suatu agama, seseorang memiliki tanggung jawab untuk
melaksanakan kewajiban atau ibadah sesuai dengan peraturan agama yang
dianutnya.
Namun, apakah
“kepemilikan” atas suatu agama mampu menjamin seseorang untuk dapat menjalani
hidup secara damai dengan diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya? Kenyataannya
berkata lain. Kasus yang banyak ditangani PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) pada
tahun 2013 bersumber dari konflik antar agama. Agama yang seharusnya mampu
menjadi pengendali bagi seseorang dalam bertindak, justru disalahgunakan
sebagai senjata untuk memicu pertikaian. Sebagai contoh, kasus yang terjadi di
Yogyakarta baru-baru ini. Kelompok dari suatu agama melakukan penyerangan
terhadap pemeluk agama lain yang sedang melakukan perayaan ibadah. Peristiwa
semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi jika anggota kelompok tersebut
menyadari bahwa perbedaan tata cara ibadah merupakan hal yang wajar dan
seharusnya dihargai.
Di Indonesia kebebasan
untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sebenarnya telah diatur dalam
Undang-undang Dasar 1945 ayat (2) yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dengan adanya perlindungan yang resmi
dari pemerintah, setiap warga negara Indonesia pun seharusnya dapat beribadah
dengan tenang tanpa adanya gangguan dari pihak lain. Tragedi penyerangan agama telah
membuat ketenangan masyarakat terusik. Hal ini seolah memberikan gambaran
kepada kita bahwa undang-undang saja tidak cukup untuk mengatur perilaku masyarakat.
Lalu apakah pemerintah
perlu merevisi isi undang-undang ataukah tokoh-tokoh agama perlu semakin giat
memberikan ceramah agama pada masyarakat untuk mencegah terjadinya konflik?
Persoalan utama bukan terletak pada seberapa besar proteksi yang dilakukan
terhadap masyarakat, tetapi seberapa dalam masyarakat mampu memahami isi
undang-undang dan kitab agama mereka masing-masing. Memeluk agama bukan hanya
tindakan menerapkan ajaran agama, tetapi juga proses mengintegrasikan ajaran
agama ke dalam hati dan pikiran.
Dalam tulisan yang berjudul The Heart, Mind, and Spirit, Profesor Mohamed Omar Salem menjelaskan hasil
penelitian Lacey dan Lacey (1978) bahwa hati mampu berkomunikasi
dengan otak sehingga dapat mempengaruhi seseorang dalam mempersepsi dan bereaksi
terhadap dunia sekitarnya. Menurut hasil penelitian hati memiliki cara kerja
yang berbeda dengan perintah dari sistem saraf autonomik. Hati mampu
mengirimkan pesan-pesan penuh makna pada otak sehingga pesan-pesan tersebut
tidak hanya dipahami tetapi juga ditaati. Berdasarkan hasil tersebut kita dapat
menyimpulkan bahwa hati merupakan komponen yang penting dalam pemrosesan agama.
Apabila seseorang menerima informasi terkait agama melalui hati, maka informasi
tersebut akan lebih mengena karena seseorang tidak hanya memahami agama secara
logika, tetapi agama tersebut mampu membuat perasaan menjadi lembut dan penuh
ketaatan.
Agama seperti halnya benda yang bisa dipandang dari berbagai
sisi. Kita bisa memandangnya sebagai ketaatan vertikal pada Tuhan dan sebagai
hubungan horizontal dengan sesama. Kedua jenis hubungan tersebut hendaknya
dapat berjalan secara seimbang. Fokus pada ketaatan terhadap Tuhan saja akan
membuat hubungan dengan sesama terabaikan. Demikian pula jika kita hanya sibuk
mengurusi persoalan sosial tanpa memperhatikan aspek transendental. Hubungan
dengan sesama akan mampu mewujudkan harmoni apabila dilandasi dengan kecintaan
terhadap Tuhan yang tercermin melalui sikap toleransi. Hal ini seperti yang
disampaikan Axtell dalam tulisan yang berjudul The Psychology of Worldviews karya Mark E.
Koltko-Rivera bahwa kunci utama dari perdamaian sosial dan kemajuan universal
adalah toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan.
Toleransi merupakan
sumber kekuatan integrasi bangsa karena dalam ruang lingkup toleransi perbedaan
antara satu kelompok dengan kelompok lain tidak dipandang sebagai keburukan.
Toleransi membuka ruang besar bagi terciptanya penghargaan terhadap
karakteristik individu atau kelompok yang unik.
Agama adalah keyakinan
personal dan pengalaman mistis, demikian yang disampaikan dalam debat tematik
PBB di New York tahun 2007. Oleh sebab itu, perbedaan dalam beragama seharusnya
tidak dapat menjadi landasan bagi seseorang untuk menyerang pemeluk agama lain
karena agama merupakan wilayah personal. Toleransi memiliki sifat yang mirip
dengan agama, yakni dalam masalah “personal”. Informasi tentang toleransi bisa
diperoleh seseorang melalui pembelajaran yang diajarkan dalam agama atau ilmu
sosial, tetapi pemahaman dan penerapan toleransi adalah tanggung jawab
personal.
Untuk dapat mengembangkan toleransi secara optimal, seseorang perlu
belajar melihat dunia secara personal, yakni dengan merasakan hal-hal di
sekitarnya sebagai bagian dari miliknya. Ketika seseorang menyadari bahwa dia
akan merasa sakit ketika tubuhnya disakiti, maka dia akan berusaha untuk
menjaga agar orang lain pun tidak merasakan hal yang sama. Kesadaran semacam
ini jika terus dipupuk akan dapat berkembang menjadi kepedulian terhadap sesama
secara luas dan meningkatkan penghargaan terhadap perbedaan dalam beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar